NAMA Irena Handono akhir-akhir ini kembali hits. Sosok ustadzah kharismatik itu menjadi saksi pelapor kasus penodaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Sebenarnya siapakah sosok Irena Handono? Berikut kisah mengharukan Irena Handono yang dikutip dari berbagai sumber.
Irena Handono lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Juli 1954. Irena Handono dibesarkan dalam keluarga yang Khatolik religius. Ayah dan ibu Irena merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi Irena sudah dibaptis dan sekolah seperti anak-anak lain serta mengikuti kursus agama secara privat.
Irena adalah anak kelima dan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Dia terlahir dari keluarga yang kaya raya dari etnis Tionghoa. Ayah Irena adalah seorang pengusaha terkenal di Surabaya sekaligus merupakan salah satu donator terbesar gereja di Indonesia.
Kisah hidup Irena berlanjut, dimana Irena remaja juga aktif di organisasi gereja dan dirinya selalu termotivasi untuk masuk biara. Bagi orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia, karena pengabdian total seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan. Keinginan itu sedemikian kuatnya, sehingga menjadi biarawati adalah tujuan hidup Irena.
Selain sangat religius, Irena juga menjadi remaja yang pandai, karena dirinya pernah terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja. Namun meski masa mudanya cukup berkesan, namun dia tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi. Dan keinginan untuk menjadi biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus SMU, Irena memutuskan untuk menjadi biarawati.
Saat memutuskan menjadi biarawati, Irena sempat dikhawatirkan orang tuanya, namun keluarga seperti kakak-kakaknya justru bangga punya adik yang masuk biarawati. Tidak ada kesulitan ketika Irena melangkah ke biara dan sejak itu dirinya kuliah biara dan kuliah di Instituit Filsafat Teologia.
“Selain mengikuti kuhah di biara seperti umumnya para calon suster maupun suster muda, saya bersama salah seorang teman diberi tugas khusus untuk kuliah di Institut Filsafat dan Teologia Bandung, salah satu yang pernah saya tanyakan adalah konsep. Juga status Yesus sebagai Tuhan-kalau memang Yesus itu Tuhan-mengapa tatkala disalib is memanggil-manggil, “Eloy… Eloy…, lama sabakhtani?” (Allah… Allah…, mengapa Engkau tinggalkan aku? (Markus 15 ayat 33),”katanya.
Dari jawaban jawaban yang diberikan, semuanya tidak memuaskan hati Irena. Karena Institut Filsafat dan Teologia ada mata kuliah studi-perbandingan agama, maka Irena mempelajari agama-agama yang ada, termasuk Islam.
“Sejak saat itulah saya mulai membanding-bandingkan, misalnya antara Islam dan agama saya, tidak terhitung jumlahnya buku-buku Islam yang saya baca. Cuma, semua buku itu karangan orang-orang di luar Islam. Entah mengapa, ada larangan buku-buku Islam yang ditulis orang Islam masuk ke perpustakaan kami. Untungnya, sejak berangkat dari Surabaya dulu saya sudah membawa Al-Qur’an dan terjemahannya dari rumah. Saya juga heran, kok dulu sempat membawa AI-Qur’an. Mungkin sudah takdir Allah,”jelasnya.
Mulai mengenal Islam
Pada usia 19 tahun, Irena muda menekuni dua pendidikan sekaligus, yaknip pendidikan di biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas Comparative Religion, Jurusan Islamologi. Di tempat inilah untuk pertama kali Irena mengenal Islam.
Di awal kuliah, dosen memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama Khatolik sedangkan agama selain itu tidak baik. Sang dosen mengatakan Islam itu jelek. Di Indonesia yang melarat itu siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap hari jumat siapa? Yang berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa? Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu jelek.
Namun sosok cerdas Irena kemudian mengatakan bahwa kesimpulan tersebut perlu diuji, alasannya di negara-negara lain, Philiphina, Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara yang mayoritas kristiani itu tak kalah kacau. Dia kemudian mencontohkan negara-negara penjajah seperti terbentuknya negara Amerika dan Australia, sampai terbentuknya negara Yahudi Israel itu, mereka dari dulu tidak punya wilayah, lalu merampok negara Palestina.
Dia pun menyimpulkan satu bukti bahwa tidak terbukti kalau Islam itu symbol keburukan, sehingga Irena tertarik mempelajari masalah ini. Dia pun minta ijin kepada pastur untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Usulan itu diterima, tapi dengan catatan Irena mencari kelemahan Islam.
“Ketika pertama kali memegang kitab suci Al-qur’an, aku bingung. Kitab ini, mana yang depan, mana yang belakang, mana atas mana bawah. Kemudian aku amati bentuk hurufnya, aku semakin bingung. Bentuknya panjang-panjang, bulat-bulat, akhirnya aku ambil jalan pintas, aku harus mempelajari dari terjemah,”kata Irena.
Saat Irena mempelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa membaca al-Quran dimulai dari kiri, dia justru terbalik dengan membukanya dari kanan. Yang pertama kali dipandang, adalah surat Al Ihlas.
“Saya membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara hati membenarkan bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia,”ujarnya.
Selanjutnya saat kuliah Teologia, dosen Irena mengatakan, bahwa Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan trinitas, atau tritunggal. Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk mengaji lagi surat al-Ihklas. “Allahhu ahad, ini yang benar,” kata Irena akhirnya.
Maka hari berikutnya terjadi dialog antara saya dan dosen-dosen saya. Aku katakan, “Pastur (Pastur), saya belum paham hakekat Tuhan.”
“Yang mana yang Anda belum paham?” tanya Pastur. Dia maju ke papan tulis sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku dijelaskan, segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengana Tuhan Putra sama dengan kuasanya Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan.
“Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi,” tanya Irena.
Dosen menjawab, “Tidak bisa!” Irena jawab bisa saja, kemudian maju ke papan tulis. Saya gambar bujur sangkar. Kalau dosen saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama sisi, sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bisa saja saya simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat. Pastur bilang, tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.
“Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!” tegas Pastur. Irena katakan, kalau saya belum paham dengan dogma itu bagaimana? “Ya terima saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!” tegas Pastur mengakhiri.
Walau pun dijawab demikian, malam hari ada kekuatan yang mendorong Irena untuk kembali mempelajari surat al-Ikhlas. Ini terus berkelanjutan, sampai akhirnya Irena bertanya kepada Pastur, “Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?” Dia tidak mau jawab.
“Coba Anda jawab!” Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu semua yang buat tukang kayu.
“Lalu kenapa?” tanya Pastur lagi. “Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai seratus tahun kemudian tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang membuat mereka berubah jadi tukang kayu,” Irena mencoba menjelaskan.
“Apa maksud Anda?” Tanya Pastur penasaran. Irena kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan seratus tahun lalu sampai seratus tahun kemudian, sampai kiamat tetap saja manusia, manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.
Malamnya, kembali kukaji surat al-Ikhlas. Hari berikutnya, Irena bertanya kepada Pastur, “Siapa yang melantik RW?” Dia ditertawakan. Mereka pikir, ini ‘kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?
“Sebetulnya saya tahu,” ucap Irena. “Kalau Anda tahu, mengapa Anda tanya? Coba jelaskan!” tantang mereka. “Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik RT jelas pelantikan itu tidak syah.” “Apa maksud Anda?” Mereka semakin tak mengerti.
“Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak syah,”papar Irena.
Malam berikutnya, Irena kembali mengkaji surat al-Ikhlas. Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya Irena bertanya mengenai sejarah gereja. Menurut semua literatur yang Irena pelajari, dan kuliah yang diterima, Yesus untuk pertama kali disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi Tuhan pada tahun 325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan yang melantiknya sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.
Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat Yesus yang mengatakan ‘Aku Tuhanmu’? Tidak pernah ada.
Mereka kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis. Dan sampai pada pertemuan berikutnya, dalam al-Quran yang Irena pelajari, ternyata saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur’an. Bahkan, Irena yakin tidak ada manusia yang mampu.
“Kebiasaan mengkaji al-Qur’an tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan bahwa agama yang hak itu cuma satu, Islam. Subhanaallah,”katanya.
Akhirnya, Irena mengambil keputusan besar, keluar dari biara. Itu melalui proses berbagai pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, Irena sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari al-Qur’an surat Maryam.
Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui perantaranya. Anehnya, tidak ada Injil Maryam.
Sekeluarnya dari biara, dia melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya. Kemudian dia menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah, aku tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Dia berpikir, kalau sudah menikah, ya selesai!
Ternyata diskusi itu tetap berjalan, apalagi suami Irena adalah aktifis mahasiswa. Begitu pun dengan dirinya, kami kerap kali berdiskusi. Setiap kali kami diskusi, selalu berakhir dengan pertengkaran, karena kalau Irena mulai bicara tentang Islam, suaminya menyudutkan.
“Padahal, saya tidak suka sesuatu dihujat tanpa alasan. Ketika dia menyudutkan, saya akan membelanya, maka jurang pemisah itu semakin membesar, sampai pada klimaksnya,”jelasnya.
Irena berkesimpulan kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut, dan tidak mungkin bertahan lama. Dia mulai belajar melalui ustadz. “Saya mulai mencari ustadz, karena sebelumnya saya hanya belajar Islam dari buku semua. Alhamdulillah Allah mempertemuka saya dengan ustadz yang bagus, diantaranya adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur periode yang lalu,”jelasnya.
“Jadi saya keluar dengan keyakinan bahwa Islam agama Allah. Tapi masih panjang, tidak hari itu saya bersyahadat. Enam tahun kemudian saya baru mengucapkan dua kalimah syahadat,”ujarnya lagi.
“Selama enam tahun, saya bergelut untuk mencari. Saya diterpa dengan berbagai macam persoalan, baik yang sedih, senang, suka dan duka. Sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga saya. Reaksi dari orang tua tentu bingung bercampur sedih,”paparnya.
Irena kemudian beberapa kali berkonsultasi dan mengemukakan niat untuk masuk Islam. Tiga kali sang Ustadz menjawab dengan jawaban yang sama, “Masuk Islam itu gampang, tapi apakah Anda sudah siap dengan konsekwensinya?”
Masuk Islam
“Siap!” jawab sang ustadz. “Apakah Anda tahu konsekwensinya?” tanya Ustadz. “Pernikahan saya!” tegasku. Irena menyadari keinginanku masuk Islam semakin kuat. “Kenapa dengan dengan perkawinan Anda, mana yang Anda pilih?” Tanya Ustadz lagi. “Islam” jawabku tegas.
Akhirnya rahmat Allah datang kepada Irena. Dia kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di depan Ustadz. Waktu itu tahun 1983, usianya 26 tahun. Setelah resmi memeluk Islam, dia mengurus perceraian dengan suaminya. Pernikahan dengan suaminya telah berlangsung selama lima tahun, dan telah dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Alhamdulillah, saat mereka telah menjadi muslim dan muslimah.
“Setelah aku mengucapkan syahadat, saya tahu persis posisiku sebagai seorang muslimah harus bagaimana. Satu hari sebelum ramadhan tahun dimana aku berikrar, aku langsung melaksanakan shalat,”katanya lagi.
Pada saat itulah, salah seorang kakak mencari Irena. Rumah cukup besar. Banyak kamar terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian membuka kamar Irena. Ia terkejut, ‘kok ada perempuan shalat? Ia piker ada orang lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.
“Hari berikutnya, kakak Irena yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan bahwa yang sedang shalat itu saya. Selesai shalat, saya tidak mau lagi menyembunyikan agama baru yang selama ini ditutupi. Kakak terkejut luar biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia tidak bisa bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat itulah terjadi keretakan diantara kami,”jelasnya lagi.
Agama baru Irena yang dipilih tak dapat diterima. Akhirnya dia meninggalkan rumah. Irena mengontrak sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, tentu ibu Irenatak mau kehilangan. Beliau tetap datang menjenguk sesekali. “Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia. Setelah ibu saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau anggota keluarga yang lain sampai sekarang,”terangnya.
Irena bukannya tak mau berdakwah kepada keluarga, khususnya ibu. Walaupun ibu tidak senang, ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam, baginya identik dengan hal-hal negatif yang dicontohkan di atas. Pendapat ibu sudah terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.
Berhaji
Tahun 1992 Irena menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah saya diberikan rejeki sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk Islam sampai pergi haji, saya selalu menggerutu kepada Allah, “kalau Engkau, ya Allah, menakdirkanku menjadi seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak menakdirkan saya menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti saudara-saudaraku muslim yang kebanyakan itu. Dengan begitu, saya tidak perlu banyak penderitan. Mengapa jalan hidup saya harus berliku-liku seperti ini?” ungkap Irena sedikit kesal.
Di Masjidil-Haram, Irena bersungkur mohon ampun, dilanjutkan dengan sujud syukur. Alhamdulillah dia mendapat petunjuk dengan perjalan hidup Irena seperti ini. Dia merasakan nikmat iman dan nikmat Islam. Padahal, orang Islam yang sudah Islam tujuh turunan belum tentu mengerti nikmat iman dan Islam.
Islam adalah agama hidayah, agama hak. Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Manusia itu oleh Allah diberi akal, budi, diberi emosi, rasio. Agama Islam adalah agama untuk orang yang berakal, semakin dalam daya analisis kita, insya Allah, Allah akan memberi. Firman Allah, “Apakah sama orang yang tahu dan tidak tahu?”
Sepulang haji, hati Irena semakin terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya pula dia kemudian diberi kemudahan dalam belajar agama tauhid ini. Alhamdulillah tidak banyak kesulitan bagi Irena untuk belajar membaca kitab-kitab.
“Allah memberi kekuatan kepada Irena untuk bicara dan berdakwah. Saya begitu lancar dan banyak diundang untuk berceramah. Tak hanya di Surabaya, saya kerap kali diundang berdakwah di Jakarta,”jelasnya.
“Begitu banyak yang Allah karuniakan kepada saya, termasuk jodoh, melalui pertemuan yang Islami, sayadilamar seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi, duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif berdakwah sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang dakwah tantangannya luar biasa. Alhamdulillah, dalam diri ini terus menekankan bahwa hidupku, matiku hanya karena Allah,”pungkasnya. (DP)