Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dari Kacamata Hukum Islam

kekerasan dalam rumah tangga

Seruni.id –Jika bicara tentang kekerasan dalam rumah tangga, maka tidak terlepas dari membahas hukum, salah satunya hukum Islam. Bagaimana Islam memandang kekerasan dalam rumah tangga?

Setiap orang di dunia ini, pastinya tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Namun, realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang dan menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun tak dapat dihindari dan masih terus akan terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Dibutuhkan semangat untuk mencari dan mewujudkan keadilan menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ekses ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan kepada korban.

Fenomena kekerasan terhadap manusia yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Relasi suami-istri yang timpang masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak.

Baca juga: Moms, Waspada! Kekerasan Seksual pada Anak Semakin Mengerikan!

Perempuan secara biologis dan anatomi serta psikologis memiliki perbedaan mendasar dengan laki-laki. Adanya perbedaan tersebut pada diri perempuan memiliki makna tidak lain agar menjadi pelengkap bagi laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Peran perempuan dan laki-laki dalam menjalani kehidupan sebuah rumah tangga salah satunya adalah saling melengkapi.

Namun, perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri perempuan, pada kenyataannya seringkali dijadikan sebagai obyek untuk melemahkan dan mengesampingkan kaum perempuan. Beberapa sifat yang menjadi ciri khas kaum perempuan, seperti lebih perasa dan mudah menangis, membuat perempuan mendapatkan cap sebagai makhluk lemah oleh kaum pria. Hal tersebut itulah yang menyebabkan perempuan memiliki potensi yang besar untuk menjadi korban kejahatan, khususnya tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga.

Rendahnya tingkat kesadaran keadilan, cara pandang terhadap perempuan dan kesalahan dalam memahami pesan-pesan dan ajaran agama terkait hubungan suami istri telah menyebabkan banyak orang, bahkan dari kalangan umat beragama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, namun sayangnya justru berbalik menjadi tempat yang berpotensi terhadap tindak kekerasan.

Ada begitu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Faktor utama kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Adanya ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Di dalam kehidupan keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Dari pihak suami juga merasa dituntut untuk mendidik istri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.
  • Faktor lainnya adalah ketergantungan istri terhadap suami secara penuh, terutama untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami.
  • Selain itu, keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang yang bersumber dari tafsir agama, bahwa perempuan boleh dipukul jika membangkang suami, perempuan harus tunduk kepada suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, tentang konsep istri shalihah, dan lain sebagainya. Keyakinan tersebut telah berkembang di masyarakat secara salah kaprah dan banyak dijadikan dalih bagi kaum laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

Islam tentu sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Islam dalam membangun rumah tangga mengajarkan prinsip mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil).

Dalam al-Qur’an disebutkan; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-rum: 21).

Dalam ayat lain disebutkan; “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri [mu], walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 129)

Selain itu, Allah SWT berfirman; “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’râf, 7:56)

Firman Allah lainnya; “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim)

Dari Al-Qur’an dan hadist di atas sangat jelas menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga sakînah anggota yang ada di dalamnya. Keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi, dan saling mencintai.

Sakinah, mawaddah wa rahmah merupakanfondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Maka kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela dan dilarang dalam Islam dan tentu saja sangat bertentangan dengan nilai-nailai keislaman.

Untuk menjawab masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui kacamata Islam adalah dengan implementasi hukum-hukum Islam (Fiqih), khususnya yang terkait dengan aturan dan ketentuan berumah tangga secara proporsional, benar dan kontekstual.

Banyak fenomena salah kaprah dalam memahami dan mengimplementasikan hukum-hukum agama yang terjadi di masyarakat. Fenomena yang salah itu perlu diluruskan, diproporsionalkan dan disosialisasikan sehingga KDRT yang dilakukan sebagian orang dengan dalih agama dapat dikurangi bahkan dihilangkan.

Selain  itu, nilai-nilai mulia keagamaan yang anti kekerasan juga perlu terus didakwahkan. Dengan begitu, masyarakat kita yang cenderung fikih-minded juga mengamalkan fikih anti KDRT ini sebagai bagian dari keberagamaan mereka.

Berikut ini adalah beberapa contoh hukum-hukum Islam yang sering salah dipahami dan digunakan sebagai dalih dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga.

1. Hukum Memukul Istri

Dalam surah An-Nisa’ ayat: 34 disebutkan; “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (pelindung) bagi kaum perempuana, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, perempuan yang baik, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Firman Allah SWT tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa bagi suami yang menghadapi istri yang nusyuz (membangkang) diperbolehkan memukulnya, setelah nasehat dan memisahkan ranjang tidak berhasil.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir hukum ini, ada yang mengatakan boleh asal tidak membekas dan tidak memukul muka. Namun beberapa ulama besar termasuk imam syafii mengatakan bagaimanapun memukul istri itu hukumnya makruh dan sangat tercela.

Namun, dalam tataran praktik, banyak kalangan masyarakat yang memilih pendapat pertama sehingga banyak sekali kasus-kasus pemukulan istri yang melampau batas-batas yang telah digariskan, padahal memukul istri pu tak boleh sampai berbekas dan dilakukan di muka seperti yang ditafsirkan ulama. Kasus-kasus ini tidak sedikit yang mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam.

Pandangan boleh memukul harus diubah dan diganti dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa pemukulan terhadap istri, apapun bentuknya, adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan al-Qur’an.

Tidak memukul istri juga sesuai dengan hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda; “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. (Ibn ‘Arabi, juz I, hal. 420). Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. mengatakan; “Mereka suami yang suka memukul istri bukanlah orang-orang yang terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Imam Ali bin Abi Thalib ra juag mengatakan; “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.

2. Hukum Hubungan Seksual Suami Istri

Dalam sebuah hadist, dari Sahabat Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda; “Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur, tetapi sang istri menolak, sehingga suami marah sampai pagi, maka sang istri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari)

Terhadap hadist banyak yang salah memahami. Banyak yang hanya memahami bahwa wajib bagi istri untuk melayani suami dalam kondisi apapun. Istri diibaratkan sebagai pelayan seksual suami sehingga ia wajib melayani suami kapanpun dan ia selalu dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan dan di manapun. Apabila istri menolak maka sering terjadi kekerasanlah yang justru menimpa istri.

Perilaku dan pandangan umum yang itu yang sangat perlu diluruskan dan ditegaskan bahwa itu menyalahi ajaran dasar Islam. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa suami adalah baju bagi istri, dan sebaliknya istri adalah baju bagi suami (Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187).

Firman Allah ini lahir dalam konteks hubungan intim antara suami dan istri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seksual menurut Al-Qur’an, adalah persoalan yang bersifat timbal balik, yaitu jika ingin dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang sama ia harus bisa memuaskan. Suami juga harus mengerti ketika sang istri menolak hubungan intim karena persoalan kelelahan, kesehatan atau alasan lainnya yang memang dibolehkan.

Teks hadist yang menyebutkan “laknat” di atas tidak seharusnya dipahami secara literal. Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan bahwa pelaknatan ini ditujukan kepada perempuan yang menolak tanpa alasan apapun.

Jika ditilik latar belakang hadist tersebut, menurut Hamim Ilyas, hadist itu lahir pada konteks di mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap suaminya. Tradisi di mana para perempuan untuk tidak melayani suaminya selama menyusui, setelah melahirkan. Sedangkan proses menyusui tersebut bisa sampai jangka waktu dua tahun.

Tradisi ini yang mendasari lahirnya pernyataan Rasulullah tentang laknat tersebut. Tradisi itu sangat memberatkan suami untuk tidak berhubungan intim, apalagi kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun. Oleh karena itu, Rasulullah mengatakan untuk para istri agar tidak menolak ajakan suami pada masa pantang bilah tersebut.