Mengapa Muslim Tidak Makan Daging Babi?

youtube.com

Seruni.id – Jelas, ajaran Islam mengharamkan umatnya mengonsumsi daging babi, dan atau memanfaatkan seluruh anggota tubuh hewan satu ini. Namun, ada yang bertanya dan butuh jawaban pasti, mengapa muslim tidak makan daging babi? Serta mengapa babi diciptakan untuk kemudian diharamkan?

Image result for pork is haram

Bismillahirrahmanirrahim, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Baqarah: 173).

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah: 3).

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 115).

Ibnu Katsir rahimahullah pun berkata, “Begitu juga dilarang memakan daging babi baik yang mati dengan cara disembelih atau mati dalam keadaan tidak wajar. Lemak babi pun haram dimakan sebagaimana dagingnya karena penyebutan daging dalam ayat cuma menunjukkan keumuman (aghlabiyyah) atau dalam daging juga sudah termasuk pula lemaknya, atau hukumnya diambil dengan jalan qiyas (analogi).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 36)

Haramnya babi adalah berdasarkan ijma’ atau kata sepakat ulama sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah. Penyusun Ahkam Al-Qur’an ini berkata, “Umat telah sepakat haramnya daging babi dan seluruh bagian tubuhnya. Dalam ayat disebutkan dengan kata ‘daging’ karena babi adalah hewan yang disembelih dengan maksud mengambil dagingnya. … Dan lemak babi termasuk dalam larangan daging babi.” (Ahkam Al-Qur’an, 1: 94).

Hewan yang diharamkan pasti akan memberikan pengaruh bagi orang yang memakannya. Hal ini pun berlaku untuk makanan haram secara umum (bukan hanya daging babi).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Diharamkan darah yang dialirkan karena darah seperti itu dapat membangkitkan syahwat dan menimbulkan amarah. Jika terus dikonsumsi, maka akan membuat seseorang bersikap melampaui batas. Saluran darah inilah tempat mengalirnya setan pada badan manusia. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan itu bisa menyusup dalam diri manusia melalui saluran darahnya.” (HR. Bukhari, no. 3281; Muslim, no. 2175).” (Disebutkan oleh Al-Qasimi dalam tafsirnya, 3: 41-42. Dinukil dari Tafsir Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, 1: 405.)

Baca Juga: Selain Bacon dan Pork, Ini 33 Nama Daging Babi dalam Komposisi Makanan

Begitu pula orang yang memakan binatang buas yang bertaring bisa mendapat pengaruh sombong dan congkak, di mana sifat tersebut termasuk watak hewan buas. Ada juga hewan yang diharamkan karena sifatnya yang khobits (menjijikkan) seperti babi yang sedang kita bahas kali ini. Maka, orang yang gemar mengonsumsi babi, akan memiliki sifat khobits pula, termasuk bisa mewarisi sifat sombong serta angkuh sebagaimana babi.

Lantas, jika ada pengaruh buruk seperti yang sudah dijelaskan di atas, mengapa dalam keadaan darurat masih dibolehkan untuk memakannya?

Jawabannya karena kebolehannya ini ada dalam keadaan darurat, maka mengingat bahwa mengambil maslahat dengan dipertahankannya jiwa lebih didahulukan daripada menolak bahaya seperti yang disebutkan. Karena bahaya di atas tidak diwarisi ketika dalam keadaan hajat yang besar seperti yang disebutkan. (Kamu bisa simak dalam kitab Al-Ath’imah karya guru, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hlm. 39-40. Atau penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 21: 585 dan 20: 340).

Lalu, mengapa Allah menciptakan babi, jika memakannya adalah haram? Semoga pertanyaan ini bukan candaan, ya. Tapi benar-benar karena ingin bertanya. Sebab pertanyan itu sama saja maksudnya dengan ‘kenapa sampai Allah menciptakan sesuatu yang buruk?’ atau dengan ‘kenapa Allah menciptakan setan?’

Bukan kah tugas kita sebagai hamba-Nya adalah, sami’naa wa atho’naa, yakni dengar dan taat? Jika ingin dinyatakan sebagai orang beriman yang benar, maka:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur: 51)

Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’: 23)

Tentang ayat tersebut, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Allah itu Al-Hakim, tidak ada yang bisa menentang ketetapan Allah, karena kebesaran dan keagungan Allah. Sebab Allah menetapkan sesuatu dengan Maha Adil dan penuh kelembutan. Makhluk-Nya lah yang akan ditanya oleh Allah atas apa yang mereka amalkan.

Surat Al-Anbiya’ ayat 23 menerangkan bahwa setiap muslim tidak harus mengetahui hikmah dari apa yang dilakukan oleh Allah Ta’ala. Manusia hanya punya kewajiban untuk membenarkan dan beriman, karena Allah yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk diri kita, daripada diri kita sendiri.

Allah tidak mungkin melarang dan menjauhkan kita dari sesuatu, kecuali pasti mengandung mudarat (bahaya) bagi kita. Begitu pula Allah tidak mungkin memerintahkan dan mendekatkan kita pada sesuatu, kecuali pasti ada kebaikan di dalamnya.

Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157)

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Cordova Media (@cordova.media) on

Semoga Allah memberi taufik agar kita senantiasa dapat menerima hukum dan ketentuan-Nya. Aamiin.