5 Sastrawan Indonesia yang Paling Kondang

Sastra

Sastrawan Indonesia yang cukup kondang cukup banyak. Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki sastrawan cukup banyak. Bahkan karya-karya milik sastrawan Indonesia sangat disukai oleh negara-negara lain, sehingga para sastrawan pun dikenal oleh masyarakat dunia.

Mungkin kita juga sering mendengar karya-karya mereka, dan nama-nama mereka. Memang sebagian besar dari sastrawan Indonesia yang terkenal mereka sudah tiada, namun karya-karya mereka masih bisa kita nikmati. Berikut lima sastrawan Indonesia yang cukup terkenal dan karya-karya mereka abadi:

1. Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisyahbana

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908. Beliau adalah tokoh pembaharu, sastrawan, serta pakar tata Bahasa Indonesia. Buku roman pertamanya yaitu Tidak putus Dilanda Malang yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, tempat dia bekerja.

Awal mula Sutan Takdir Alisyahbana bersekolah di HD Bengkuli, lantas meneruskan ke Kweekschool di Muara Enim, serta HBS di Bandung. Kemudian, ia meneruskan ke perguruan tinggi, yakni RHS (Recht HogeSchool) di Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan Takdir Alisyahbana memperoleh gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum).

Ibunya seseorang Minangkabau yang sudah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, adalah seseorang guru. Tidak hanya itu, dia juga melakukan pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), serta pakar reparasi jam. Tidak hanya itu, dia dikenal juga sebagai pemain sepak bola yang handal.

Kakek SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA (STA) dari garis bapak, Sutan Mohamad Zahab, di kenal sebagai seorang yang dikira mempunyai pengetahuan agama serta hukum yang luas. Diatas makamnya tertumpuk buku-buku yang kerap disaksikan terbuang demikian saja oleh SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA (STA) saat dia masihlah kecil. Beritanya, saat kecil SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA (STA) bukanlah seseorang kutu buku, serta lebih suka bermain-main diluar.

Sesudah lulus dari sekolah mendasar pada saat itu, SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA (STA) pergi ke Bandung, serta kerapkali meniti perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera tiap kali dia memperoleh berlibur. Pengalaman ini dapat tampak dari langkah dia menuliskan karakter Yusuf didalam satu diantara bukunya yang paling populer : Monitor Terkembang.

Sesudah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA meneruskan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Lantas dia melanjutkan HKS di Bandung (1928), mencapai Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), serta terima Dr. Honoris Causa dari Kampus Indonesia (1979) serta Kampus Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).

Karirnya beragam macam dari bagian sastra, bahasa, serta kesenian. STA pernah jadi redaktur Panji Pustaka serta Balai Pustaka (1930-1933). Lantas membangun serta memimpin majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 serta 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), serta Konfrontasi (1954-1962). Pernah jadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, serta Kebudayaan di Kampus Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan serta Kebudayaan di Kampus Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Kampus Andalas, Padang (1956-1958), guru besar serta Ketua Departemen Studi Melayu Kampus Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

STA adalah satu diantara tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Karena pemikirannya yang condong pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA pernah berpolemik dengan cendekiawan Indonesia yang lain. STA amat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, serta anti-Barat. Menurut dia, bangsa Indonesia sebaiknya menguber ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi pemikiran, serta belajar bebrapa pengetahuan Barat.

Dalam kedudukannya sebagai penulis pakar serta lantas ketua Komisi Bhs sepanjang pendudukan Jepang, STA lakukan modernisasi Bahasa Indonesia hingga bisa jadi bhs nasional sebagai pemersatu bangsa. Ia yang pertama kalinya menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dilihat dari sisi Indonesia, yang mana masihlah digunakan hingga saat ini.

Dan Kamus Arti yang diisi beberapa arti baru yang diperlukan oleh negara baru yang mau menguber modernisasi dalam beragam bagian. Sesudah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap memengaruhi perubahan Bahasa Indonesia lewat majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan serta di pimpinnya. Saat sebelum kemerdekaan, STA yaitu pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA jadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia serta inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia mengenai The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).

Tidak hanya sebagai pakar tata Bahasa Indonesia, STA juga adalah seseorang sastrawan yang banyak menulis novel. Beberapa contoh novelnya yang populer yakni Tidak Putus Dilanda Malang (1929), Dian Tidak Kunjung Padam (1932), Monitor Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), serta Grotta Azzura (1970 & 1971).

STA menggunakan masa-masa tuanya dirumah, di Indonesia. Tempat tinggalnya amat asri serta penuh dengan tanaman dan pohon-pohon. STA membiarkan hewan-hewan ternaknya berkeliaran di halaman belakang tempat tinggalnya yang luas, seperti angsa serta ayam. STA isi saat luangnya dengan membaca serta menulis, dan berenang di kolam renang yang dibuatkan oleh anak-anaknya untuk melindungi kesehatan tubuh. STA wafat di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun.

STA menikah dengan tiga orang istri dan dikaruniai sembilan orang putra serta putri. Istri pertamanya yaitu Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 serta meninggal dunia pada tahun 1935) yang masihlah berkerabat dengan STA. Dari R. A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak yakni Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, serta Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (meninggal dunia tahun 1952) serta dikaruniai dua orang anak yakni Mirta Alisjahbana serta Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer (menikah 1953 serta meninggal dunia 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yakni Tamalia Alisjahbana, Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, serta Mario Alisjahbana. STA amat menghormati wanita, ia menyampaikan kalau wanita yaitu motor penggerak serta pendukung di balik keberhasilan seseorang lelaki.

2. Mochtar Lubis

Mochtar Lubis

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922– wafat di Jakarta, 2 Juli 2004 di usia (82 tahun). Beliau yaitu seseorang jurnalis serta pengarang terkenal asal Indonesia, Sampai Mochtar Lubis kerap dijuluki “Granit” oleh kelompok Sesepuh Pers di negeri ini. Julukan itu tidaklah yang berlebih mengingat lantaran memanglah susah temukan sosok Pers lain seperti beliau yang mempunyai keberanian serta idealisme kuat.

Indonesia Raya yaitu koran yang di pimpinnya saat itu serta kerap dikira tidak bersahabat oleh dua rezim yang pernah berkuasa serta menguasai bangsa ini. Baik ketika masa Rezim Soekarno ataupun Jaman Soeharto, Indonesia Raya pernah dilarang terbit lantaran mencerminkan serta mewakili semangat kemerdekaan dari seluruh rakyat Indonesia yang tidak bisa kendur sedikitpun. Catatan Subversi yang ia catat semasa kurungan memberikan kalau begitu jiwanya tetap tegar, kuat serta bebas.

Kata Ajip Rosidi yang mengetahui Mochtar lubis cukup lama menyampaikan kalau Pak Mochtar arti kompromi nampaknya tidaklah satu pilihan yang bakal ia tempuh, amat tidak sama dengan tokoh-tokoh Indonesia saat ini serta berasumsi sikap itu yaitu pilihan yang amat dimuliakan bahkan juga seringkali menyisipkan beberapa kebutuhan oportunis baik kelompok ataupun personal mereka.

Tidak hanya seseorang jurnalis yang pemberani, ia juga menekuni beberapa bagian yang lain yakni sebagai seseorang sastrawan, pelukis, suka pelihara tanaman, lakukan kerja pertukanagan, rajin berolahraga terlebih kungfu serta yoga, serta ia suka memasak.

Di dunia Satra, Mochtar Lubis tidak kalah berhasil serta kembali mengambil alih perhatian karena style penulisannya yang kuat serta seakan terilhami oleh keadaan sosial di sekelilingnya. Hal itu tidaklah mengherankan, lantaran biasanya satrawan dimasa itu rata-rata lihat keadaan sosial sebagai satu objek yang amat Real serta menarik untuk jadikan satu karya Satra yang original. Seperti yang dikerjakan oleh Ramadhan KH dalam novel Ladang Perminus yang beberapa mengambil jenis dari tokoh yang betul-betul di kenal oleh penulisnya di kehidupan sesehari.

Mulai sejak jaman pendudukan Jepang ia sudah dalam lapangan penerangan. Ia ikut membangun Kantor Berita ANTARA, lantas membangun serta memimpin harian Indonesia Raya yang sudah dilarang terbit. Ia membangun majalah Sastra Horizon berbarengan kawan-kawannya. Pada saat pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan kedalam penjara nyaris sembilan tahun lamanya serta baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya sepanjang di penjara, ia tuang dalam buku yang berjudul Catatan Subversif (1980).

Sebagai sosok pengarang, Mochtar Lubis telah melahirkan beberapa karya berupa kumpulan cerpen dan novel, yaitu:

  • Tidak Ada Esok (novel, 1951)
  • Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
  • Teknik Mengarang (1951)
  • Teknik Menulis Skenario Film (1952)
  • Harta Karun (cerita anak, 1964)
  • Tanah Gersang (novel, 1966)
  • Senja di Jakarta (novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963)
  • Judar Bersaudara (cerita anak, 1971)
  • Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)
  • Manusia Indonesia (1977)
  • Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
  • Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
  • Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)

3. Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

Tokoh satu ini di kenal sebagai satu diantara sastrawan paling besar di Indonesia. Banyak karya-karyanya yang fenomenal hingga ia di kenal sebagai sastrawan yang amat produktif. Pramoedya Ananta Toer, Beliau lahir pada tanggal 6 februari 1925 di daerah Blora yang terdapat di Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri yang bekerja sebagai seseorang guru di satu sekolah swasta serta ibunya bernama Saidah bekerja sebagai seseorang penghulu di daerah Rembang.

Masa-masa Kecil Pramoedya Ananta Toer

Nama asli dari Pramoedya yaitu Pramoedya Ananta Mastoer tetapi lama kelamaan orang lebih mengenalnya sebagai Pramoedya Ananta Toer atau umum di panggil Pram. Beliau mulai bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di Blora dibawah tuntunan ayahnya yang bekerja sebagai guru disana tetapi terdaftar kalau Pramoedya beberapa kali tidak naik kelas. Tamat dari Boedi utomo, ia lantas bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya sepanjang 1,5 tahun di 1940 sampai 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya lantas pergi ke Jakarta serta bekerja sebagai tukang ketik di Kantor berita Jepang bernama ‘Domei’ pada ketika masa-masa kependudukan jepang di Indonesia.

Sembari bekerja, Pramoedya juga ikuti pendidikan di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1942 higga 1943. Berikutnya di tahun 1944 sampai 1945, ia ikuti satu pelatihan Stenografi serta lantas meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada tahun 1945.

Lantas masuk masa-masa pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya pada th. 1946, Pramoedya Ananta Toer mengikuti kursus militer Tentara Keamanan Rakyat serta berhimpun dengan Resimen 6 dengan pangkat letnan dua serta ditugaskan di Cikampek serta lantas kembali pada Jakarta pada tahun 1947.

Pramoedya Ananta Toer lantas di tangkap Belanda pada tanggal 22 juli 1947 dengan tuduhan menaruh dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali pada Indonesia untuk berkuasa. Ia lantas di jatuhi hukuman penjara serta lantas dipenjarakan di pulau Edam serta lantas dipindahkan ke penjara di daerah Bukit Duri sampai tahun 1949 serta sepanjang masa-masa penahanannya itu, ia semakin banyak menulis buku serta cerpen.

Jadi Pimpinan Pusat Instansi Kesenian Rakyat (LEKRA)

Keluar dari penjara, Pramoedya Ananta Toer lantas bekerja sebagai seseorang redaktur di Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1950 sampai 1951, serta di tahun selanjutnya ia lantas membangun Literary and Fitures Agency Duta sampai tahun 1954. Ia bahkan juga pernah ke Belanda ikuti program pertukaran budaya serta tinggal disana beberapa bulan. Tidak lama lantas ia pulang ke Indonesia serta jadi anggota Lekra (Instansi Kebudayaan Rakyat) yang di kenal sebagai organisasi kebudayaan berhaluan kiri.

Pada tahun 1956, Pramoedya Ananta Toer pernah ke Beijing untuk menghadiri hari kematian Lu Sung. Kembali pada Indonesia, ia lantas mulai pelajari beberapa hal yang terkait dengan beberapa orang tionghoa di Indonesia. Pramoedya bahkan juga merajut hubungan yang erat dengan beberapa penulis atau sastrawan dari Tiongkok. Di masa-masa itu, Pramoedya banyak menulis karya-karya sastra serta tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintahan Indonesia tentang penyiksaan pada etnis Tionghoa di Indonesia.

Lantas pada tahun 1958, Pramoedya Ananta Toer didaulat jadi pimpinan pusat Lekra (Instansi Kesenian Jakarta) yang bernaung dibawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N Aidit. Jabatannya sebagai pimpinan pusat Lekra bikin banyak seniman jadi berseberangan pendapat dengan Pramoedya Ananta Toer teruta beberapa seniman yang menentang aliran komunis di Indonesia.

Di tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer lantas bekerja sebagai seseorang dosen sastra di Kampus Res Republica. Ia juga jadi Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai serta berprofesi sebagai redaktur majalah Lentera.

Di tangkap serta Dijebloskan ke Penjara serta Dibuang ke Pulau Buru oleh Pemerintah

Masuk tahun 1960an, PKI makin gencar memperluas pengaruhnya sampai lantas terjadi gejolak politik dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) lakukan pemberontakan yang populer dengan nama G30S/PKI serta terjadi perubahan kekuasaan dari Ir. Soekarno ke Soeharto. Di bawah pemerintahan Soeharto, penumpasan PKI dikerjakan. Hal semacam ini lantas bikin organisasi-organisasi yang ada dibawah PKI saat seperti Lekra yang di pimpin oleh Pramoedya jadi terancam.

Pemerintah lantas menangkap Pramoedya Ananta Toer dengan tuduhan mendukung komunis. Ia pada akhirnya ditahan tanpa pengadilan dari tahun 1965 sampai 1969, kemudian ia dititipkan di penjara Nusakambangan di Jawa Tengah serta lantas ia di buang di pulau Buru yang populer sebagai pulau buangan beberapa tahanan politik PKI saat itu dari tahun 1969 sampai 1979. Di pulau itu juga Pramoedya dilarang menulis oleh pemerintah tetapi ia tetap menulis karya-karyanya seperti novel semi fiksi yang berjudul Bumi Manusia.

Bebas dari Penjara

Masuk tahun 1979 pada bulan desember, Pramoedya Ananta Toer pada akhirnya dibebaskan lantaran ia tidak tebukti ikut serta dalam gerakan G30S/PKI tetapi ia tetap jadi tahanan rumah oleh pemerintahan Soeharto sampai tahun 1992 serta lantas naik jadi tahanan kota sampai tahanan negara sampai tahun 1999. Nyaris separuh hidupnya ia habiskan di dalam penjara akibat hubungan dengan partai PKI tetapi pada masa-masa itu juga ia aktif dalam menulis tetapi banyak karya-karya atau tulisannya yang dilarang terbit oleh pemerintah orde baru sampai tahun 1995.

Saat perubahan pemerintahan orde baru ke orde reformasi, Pramoedya Ananta Toer banyak menuliskan pikiran-pikirannya baik itu di kolom-kolom majalah mengkritik pemerintahan yang baru. Sebagai penulis serta sastrawan dengan beberapa puluh karya-karya yang populer bikin Pramoedya Ananta Toer banyak terima penghagaan nasional serta internasional seperti Ramon Magsaysay Award, Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI, Norwegian Authors’ Union Award dan penghargaan dari Kampus Michigan Amerika.

Meninggal dunianya Pramoedya Ananta Toer

Walau udah masuk masa-masa tua, Pramoedya Ananta Toer tetap aktif menulis meskipun ia suka merokok. Sampai lantas ia terbaring dirumah sakit pada awal 2006 akibat penyakit diabetes, sesak nafas serta jantungnya yag melemah. Sampai lantas ia keluar lagi. Tetapi kembali masuk tempat tinggal sakit saat keadaannya semakin lebih buruk akibat panyakit radang paru-paru.

Sampai pada tanggal 30 april 2006, Pramoedya Ananta Toer pada akhirnya hembuskan nafas terakhirnya serta wafat di umur 81 tahun. Pemakamannya banyak di hadiri oleh orang-orang serta beberapa tokoh populer seperti wakil presiden saat itu Jusuf Kalla. Pramoedya Ananta Toer lantas dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

4. Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yaitu seseorang pujangga Indonesia terkemuka, yang di kenal lewat beragam puisi-puisinya, yang memakai kalimat simpel, hingga beberapa salah satunya amat popular.

Sapardi adalah anak sulung dari pasangan Sadyoko serta Sapariah. Sadyoko yaitu abdi dalam di Keraton Kasunanan, ikuti jejak kakeknya. Bersumber pada kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar. Hal semacam itu mengakibatkan orang tuanya memberikannya nama Sapardi. Menurut keyakinan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar nantinya bakal jadi sosok yang pemberani serta teguh dalam kepercayaan.

Awal karier menulis Sapardi diawali dari bangku sekolah. Ketika masihlah di sekolah menengah, karya-karyanya udah kerap dimuat di majalah. Kesukaannya menulis makin berkembang saat dia kuliah di Fakultas Sastra serta Kebudayaan UGM.

Dari kemampuannya di bidang seni, dari mulai menari, bermain gitar, bermain drama, serta sastrawan, nampaknya bagian sastralah yang paling menonjol dipunyainya. Pria yang dijuluki sajak-sajak SDD ini tidak cuma menulis puisi, tetapi juga narasi pendek. Ia juga menerjemahkan beragam karya penulis asing, esai, serta beberapa artikel di surat berita, termasuk juga kolom sepak bola. Sapardi juga sedikit kuasai permainan wayang, lantaran kakeknya tidak hanya jadi abdi dalam juga bekerja sebagai dalang.

Penyair yang tersohor namanya didalam ataupun luar negeri ini sempat juga mengajar di Fakultas Pengetahuan Budaya Kampus Indonesia. Ia sempat juga jadi dekan disana serta jadi guru besar dan jadi redaktur pada majalah Horison, Basis, serta Kalam. Tetapi saat ini ia sudah pensiun.

Hal-hal lain yang bikin jasanya besar untuk sastra yaitu karena jasanya meniti serta memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), tiap tahun saat ini ada penyelenggaraan seminar serta pertemuan beberapa sarjana sastra yang terhimpun didalam organisasi itu.

Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini, mengakui tidak pernah merencanakan jadi penyair, lantaran dia berteman dengan puisi secara tidak disengaja. Mulai sejak masihlah belia putra Sadyoko serta Sapariyah itu, kerap membenamkan diri dalam tulisan-tulisannya. Bahkan juga, ia pernah menulis sejumlah delapan belas sajak cuma dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra, udah mulai terlihat mulai sejak ia masihlah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Lantas, saat duduk di SMA, ia pilih jurusan sastra serta lantas meneruskan pendidikan di UGM, fakultas sastra.

Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalam Keraton Surakarta itu mungkin saja mewarisi kesenimanan dari kakek serta neneknya. Kakeknya dari pihak bapak pandai bikin wayang—hanya sebagai kegemaran—dan pernah memberi sekotak wayang pada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya suka menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang di buat sendiri. “Tapi saya tidak dapat menyanyi, nada saya buruk, ” tutur sisa pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar bakal kekurangannya, Sapardi lantas meningkatkan diri sebagai penyair.

Karya :

Kumpulan Puisi/Prosa
·”Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)
·”Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
·”Mata Pisau” (1974)
·”Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George Seferis)
·”Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan)
·”Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan)
·”Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)
·”Perahu Kertas” (1983)
·”Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
·”Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn)
·”Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988; translated by J.H. McGlynn)
·”Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
·”Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
·”Hujan Bulan Juni” (1994)
·”Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)
·”Arloji” (1998)
·”Ayat-ayat Api” (2000)
·”Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen)
·”Mata Jendela” (2002)
·”Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)
·”Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)
·”Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an – 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
·”Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
·”Kolam” (2009; kumpulan puisi)

Buku
·”Sastra Lisan Indonesia” (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
·”Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”
·”Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
·”Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), salah seorang penulis.
·”Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978).
·”Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999).
·”Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005).
·”Babad Tanah Jawi” (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

5. Buya Hamka

Buya Hamka

Anda mungkin saja pernah mendengar atau bahkan juga melihat satu film yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” yang diangkat bersumber pada novel yang ditulis oleh seseorang sastrawan populer yag bernama Buya Hamka yang lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri adalah singkatan dari nama beliau yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka adalah putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang juga adalah ulama di tanah minang, dimulai bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan serta guru agama di Padang Panjang pada th. 1929. Hamka lantas dilantik sebagai dosen di Kampus Islam, Jakarta serta Kampus Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 sampai tahun 1958.

Profil Kehidupan Buya Hamka

Kemudian, beliau diangkat jadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta serta Profesor Kampus Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 sampai tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, namun menempatkan jabatan itu saat Sukarno menyuruhnya pilih pada jadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka adalah sosok otodidak dalam beragam bagian ilmu dan pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi serta politik, baik Islam ataupun Barat.

Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau bisa menyelidiki karya ulama serta pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, serta Hussain Haikal. Lewat bahasa Arab juga, beliau mempelajari karya sarjana Perancis, Inggris serta Jerman, beliau juga rajin membaca serta bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh kondang Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, serta Ki Bagus Hadikusumo sembari mengasah bakatnya hingga jadi seseorang pakar pidato yang andal.

Hamka aktif dalam Muhammadiyah, dipilih jadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka diambil sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia namun beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 lantaran nasehatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Pekerjaan Buya Hamka

beliau juga wartawan, penulis, editor, serta penerbit. Mulai sejak tahun 1920-an, Hamka jadi wartawan beberapa buah surat berita seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, serta Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau jadi editor majalah Perkembangan Orang-orang. Pada tahun 1932, beliau jadi editor serta menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.

Hamka sempat juga jadi editor majalah Dasar Orang-orang, Panji Orang-orang, serta Gema Islam. Hamka juga membuahkan karya ilmiah Islam serta karya kreatif seperti novel serta cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar serta pada novel-novelnya yang memperoleh perhatian umum serta jadi buku teks sastera di Malaysia serta Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, serta Merantau ke Deli.

karya- karya buya HAMKA
Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
Si Sabariah. (1928)
Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
Kepentingan melakukan tabligh (1929).
Hikmat Isra’ dan Mikraj.
Arkanul Islam (1932) di Makassar.
Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.
Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
Tuan Direktur 1939.
Dijemput mamaknya,1939.
Keadilan Ilahy 1939.
Tashawwuf Modern 1939.
Falsafah Hidup 1939.
Lembaga Hidup 1940.
Lembaga Budi 1940.
Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepang 1943).
Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
Negara Islam (1946).
Islam dan Demokrasi,1946.
Revolusi Pikiran,1946.
Revolusi Agama,1946.
Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
Didalam Lembah cita-cita,1946.
Sesudah naskah Renville,1947.
Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
Ayahku,1950 di Jakarta.
Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
Kenangan-kenangan hidup 2.
Kenangan-kenangan hidup 3.
Kenangan-kenangan hidup 4.
Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
Pribadi,1950.
Agama dan perempuan,1939.
Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
Pelajaran Agama Islam,1956.
Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
Empat bulan di Amerika Jilid 2.
Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
Himpunan Khutbah-khutbah.
Urat Tunggang Pancasila.
Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
Sejarah Islam di Sumatera.
Bohong di Dunia.
Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
Pandangan Hidup Muslim,1960.
Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.