Bercita-cita Ingin Jadi Pendeta, Jamilah Kolocotronis Justru Menjadi Mualaf

inovasee.com

Seruni.id – Menjemput hidayah, tidak selalu berjalan mulus. Kadang kala, kita harus melalui jalan yang berliku. Namun, semuanya harus dilalui demi memulai hidup yang lebih baik. Begitupun yang dilakukan oleh wanita asal Amerika, Jamilah Kolocotronis yang menjadi mualaf melalui perjalanan panjangnya. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah SWT, saat ia menempuh pendidikan demi menggapai cita-citanya untuk menjadi pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.

Hasil gambar untuk Jamilah Kolocotronis
portal-islam.id

Kisah Jamilah Kolocotronis berawal pada tahun 1976. Meski ia kuliah di sebuah Universitas Negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah kerap mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor tersebut kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untu para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam agenda tersebut, untuk pertamakalinya ia bertemu dengan seorang pria Muslim.

Muslim itu bernama Abdul Mun’im dari Thailand. Pria tersebut memiliki senyum yang manis serta sikapnya yang sangat sopan. Ketika Jamilah berbincang dengan Mun’im, kerap terdengar pria tersebut mengucapkan kata Allah yang membuat Jamilah merasa heran.

“Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah,” kata Jamilah.

Wajar saja Jamilah merasa sangat aneh. Karena, sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, ia mulai berpikir bahwa Mun’im adalah salah satu orang yang akan masuk neraka. Bahkan, Jamilah bertekad untuk mengkristenkan Mun’im.

Pada suatu kesempatan, Jamilah mengundang Mun’im untuk datang ke gereja. Dan Mun’im pun memenuhi undangan tersebut. Namun, siapa sangka, pria itu ternyata datang dengan membawa Alquran. Betapa malunya Jamilah saat itu. Kemudian, usai kebaktian, Jamilah dan Mun’im berbincang tentang Islam dan Alquran. Selama ini Jamilah hanya mendengar kata “Muslim” saja, itupun masih diselimuti dengan hal-hal negatif. Sejak era 1960-an, kebanyakan warga kulit putih AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.

Jamilah dan Mun’im masih menjalin kontak selama dua tahun. Lewat aktivitasnya di sebuah klub internasional, Jamilah juga bertemu dengan Muslim lainnya. Ia tetap berupaya melakukan misinya untuk memurtadkan mereka. Dan masih memiliki tekad yang kuat untuk menjadi pendeta. Meskipun kala itu, gereja-gereja belum dapat menerima permpuan di sekolah seminari.

Waktu terus bergulir, kebijakan pun berubah. Akhirnya, sebuah seminari Lutheran bersedia menerimanya sebagai murid. Jamilah pun bergegas mengemasi barang-barangnya yang akan dibawanya ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta. Namun, semangatnya hanya bertahan satu semester saja. Jamilah merasa kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi.

Kekecewaannya semakin memuncak ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitab bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta, mereka tidak boleh membocoran hal itu pada siapapun. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.

Sejak saat itu, ia memutuskan untuk meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia lebih memilih meluangkan waktunya untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di dareah pinggiran St. Louis yang tak jauh dari rumahnya.

Suatu hari, saat memasuki sebuah toko buku, ia menemukan Alquran. Jamilah tertarik untuk membelinya, hanya untuk mencari kesalahan dalam Alquran. Ia berpikir, sebagai seorang yang memiliki gelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengeyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan dalam Alquran. Sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah. Namun, Jamilah tak juga menemukan kesalahan di dalam Alquran.

“Saya baca Alquran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam Alquran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An’am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,” ujar Jamilah.

Akhirnya, ia kembali ke Universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada kesempatan yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, ia mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

Namun, pencariannya tak berhenti sampai di situ. Ia banyak mendapatkan penjelasan dari teman-temannya di Universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini diketahui. Selain mencaritahu tentang Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha.

“Saya hanya ingin menemukan kebenaran,” kata Jamilah.

Seiring berjalannya waktu, pada musim panas 1980, Jamilah mulai menunjukkan ketertarikannya pada Islam. Namun, ada hal yang membuatnya bingung, ia merasa heran mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Menurutnya, hal tersebut tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Kisah Dokter Gigi Asal Irlandia yang Menjadi Mualaf
[/su_box]

Akhirnya, pada malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil di dekat Universitas. Di sana, Jamilah Kolocotronis mengucapkan dua kalimat syahadat dan disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.

“Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai,” tukas Jamilah.

Ketika menjadi seorang Muslim, awalnya ia masih menyembunyikan keislamannya dari teman-teman bahkan keluarganya. Pasalnya, menceritakan pada keluarga bahwa ia telah menjadi seorang Muslim, bukanlah persoalan yang mudah. Karena tidak semua pihak bisa menerimanya. Begitupun ketika ia ingin mengenakan jilbab.

Alhamdulillahnya, jalan berliku dan berat itu berhasil ia lalui. Kini, Jamilah Kolocotronis sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika.