Siapa Sajakah Mahram yang Boleh Melihat Aurat Kita?

mahram wanita
mahram wanita - ilustrasi gadis berhijab sedang berpikir

Seruni.id –  Kesadaran para wanita muslim untuk menutup aurat mereka dengan mengenakan jilbab dan busana muslimah saat ini sudah jauh lebih meningkat termasuk di kalangan artis. Masyarakat pada umumnya juga mulai banyak yang mengenakan busana muslim syar’i sesuai dengan yang termaktub dalam al-qur’an Surah An Nuur : 31 sebagai berikut:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Surah An Nuur : 31)

mahram dan aurat wanita – ilustrasi gadis berhijab sedang berjalan di tengah kota

Walaupun mengenakan busana muslim dan jilbab wajib hukumnya bagi para wanita, mungkin banyak juga yang belum tahu siapa saja yang masih boleh melihat diri kita tanpa jilbab. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. Siapa sajakah yang termasuk dalam mahram kita itu ?

Daftar Mahram

Istilah mahram sebenarnya mengacu kepada kata haram. Maksudnya, wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.Pada dasarnya ada dua jenis kemahraman.

Pertama mahram yang bersifat abadi, atau disebut juga dengan mahram muabbad

Kedua, mahram yang bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi. Kepada mahram yang seperti ini, seorang wanita tetap diharamkan untuk terlihat sebagian auratnya.

1. Mahram Yang Bersifat Abadi (Muabbad)

Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan (perbesanan dan karena hubungan akibat persusuan.

A. Mahram Karena Nasab

  • Al-Umm, yaitu Ibu kandung dengan anak laki-lakinya adalah mahram. Dan demikian juga seterusnya ke atas seperti antara nenek dengan cucu laki-lakinya.
  • Al-Bint, yaitu anak wanita dengan ayah kandungnya adalah mahram, dan seterusnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
  • Al-ukht, yaitu saudara kandung wanita kepada saudara laki-lakinya.
  • `Ammat, yaitu seorang bibi dengan keponakan laki-lakinya.
  • Khaalaat, yaitu seorang bibi (saudara wanita ibu) dengan keponakan laki-lakinya.
  • Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki dengan pamannya.
  • Banatul Ukht/ anak wanita dari saudara wanita dengan pamannya.

B. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan

  • Ibu dari isteri (mertua wanita) dengan menantu laki-lakinya.
  • Anak wanita dari isteri (anak tiri) dengan ayah tirinya.
  • Isteri dari anak laki-laki (menantu perempuan) dengan mertua laki-lakinya.
  • Isteri dari ayah (ibu tiri) kepada anak tiri laki-lakinya.

C. Mahram Karena Penyusuan

Selain karena dua sebab di atas, kasus di mana seorang anak laki-laki pernah disusui oleh seorang wanita yang bukan ibunya, juga menjadi penyebab kemahraman. Ketika masih kecil, nabi Muhammad SAW pernah disusui oleh seorang wanita dari Bani Sa’ad yang bernama Halimah As-Sa’diyah.

Maka untuk selamanya, Halimah menjadi seorang wanita yang hukumnya mahramnya dengan beliau SAW. Tidak boleh terjadi pernikahan antara mereka, namun Halimah dibolehkan terlihat sebagian auratnya di depan beliau SAW.

Halimah juga punya seorang anak wanita yang bernama Syaima’. Statusnya juga sama dengan Halimah, Syaima’ terhitung sebagai saudara beliau SAW sesusuan, maka sebagian auratnya boleh terlihat di depan beliau SAW.

Di antara mereka yang bisa menjadi mahram karena disusui adalah:

  • Ibu yang menyusui dengan anak laki-laki yang disusuinya.
  • Ibu dari wanita yang menyusui (nenek) dengan anak laki-laki yang disusui anak perempuannya.
  • Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya (nenek juga).
  • Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
  • Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
  • Saudara wanita dari ibu yang menyusui.

2. Mahram Yang Bersifat Sementara

Kemahraman jenis yang kedua adalah kemahraman ini bersifat sementara. Maksudnya, seorang wanita diharamkan menikah dengan seorang laki-laki karena alasan yang bersifat sementara saja.

Lalu batasan apa saja yang bisa dilihat oleh mahram?

Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:

Pendapat pertama:

Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama.

وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .

“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat dia atas.

Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,

ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .

“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat Fat-hul Baari (I/465)]

Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

mahram wanita
aurat dan mahram wanita – ilustrasi gadis berhijab sedang tersenyum riang

Pendapat kedua:

Seorang mahram hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa’i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]

Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para wanita. [Lihat Fat-hul Baari(I/465), ‘Aunul Ma’bud (I/147) dan Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/195)]

Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.

Wallahu’alam

-dari berbagai sumber-

 

Baca juga : 

Apakah Diterima Ibadah Seorang Wanita yang Tidak Menutup Auratnya?

Mana yang Lebih Dulu, Menghijabkan Hati atau Aurat?

Seorang Pendeta Kristen Ortodoks Memuji Cara Muslimah Menutup Aurat

Tak Harus Pamer Aurat, 11 Foto Kehamilan Seleb ini Malah Terlihat Berkelas dengan Gaun Tertutup!