Bolehkah Seorang Istri Menggugat Cerai Suami?

Seruni.id – Baru-baru ini netizen dikejutkan oleh satu berita perceraian yang dialami pasangan publik figur yang cukup populer di Indonesia. Mengapa mengejutkan? Pasalnya pasangan ini kerap menampilkan kemesraan di depan publik, baik secara langsung maupun melalui akun instagram masing-masing. Mereaka juga digadang-gadang sebagai salah satu pasangan romantis di kalangan para selebriti. Lalu mengapa perceraian akhirnya menjadi jalan yang dipilih? Mengapa juga sang perempuan yang menggugat? Bolehkah seorang istri menceraikan suaminya dan bagaimanakah aturannya dalam Islam? Nah, penulis merangkum penjelasannya tentang hal ini dari laman islampos.com.

Rasulullah SAW bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan)

Adapun jika kondisi rumah tangga itu berubah, maka seorang wanita dibolehkan meminta cerai dengan beberapa syarat dan ketentuan. Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta cerai dari suaminya sebagai berikut:

  1. Apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya.

2. Perangai atau sikap seorang suami yang suka mendzalimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor.

3. Seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang suami yang gemar berbuat dosa, suka minum bir (khomr), suka berjudi, suka berzina (selingkuh), suka meninggalkan shalat, dan seterusnya

4.Seorang suami yang tidak melaksanakan hak ataupun kewajibannya terhadap sang istri. Seperti contoh sang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, tidak mau membelikan kebutuhan (primer) istrinya seperti pakaian, makan dll, padahal sang suami mampu untuk membelikannya.

5. Seorang suami yang tidak mampu menggauli istrinya dengan baik, seperti seorang suami yang cacat, tidak mampu memberikan nafkah batin (jimak), atau jika dia seorang yang berpoligami dia tidak adil terhadap istri-istrinya dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau, jarang, enggan untuk memenuhi hasrat seorang istri karena lebih suka kepada yang lainnya.

6. Hilangnya kabar tentang keberadaan sang sang suami, apakah sang suami sudah meninggal atau masih hidup, dan terputusnya kabar tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun. Dalam salah satu riwayat dari Umar Radhiyallahu’anhu, jangka waktu itu kurang lebih 4 tahun.

Semoga kita dihindari dari perceraian yang dibenci Allah. Aamiin.

wallahu a’lam.