Pengingat: Hati-hati Istidraj

webmd.com

Seruni.id – Ada golongan yang mendapatkan limpahan rezeki, meski mereka adalah orang yang gemar maksiat. Menempuh jalan kesyirikan, entah lewat ritual pesugihan atau lainnya, hanya karena ingin cepat kaya. Namun, hati-hati istidraj. Ketahuilah bahwa mendapatkan limpahan kekayaan seperti itu bukanlah suatu tanda kemuliaan, melainkan istidraj. Lantas, apa itu istidraj? Istidraj adalah kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya, yang sebenarnya itu menjadi azab baginya apakah dia bertobat atau semakin jauh.

Related image
voa-islam.com

Sederhananya adalah jika kita dapati seseorang yang semakin buruk kualitas ibadahnya, semakin tidak ikhlas, berkurang kuantitasnya, sementara maksiat semakin banyak, baik maksiat kepada Allah dan manusia.

Lalu rezeki baginya Allah berikan melimpah ruah, kesenangan hidup begitu mudah didapatkan, tidak pernah sakit dan celaka, panjang umur, bahkan Allah berikan keluarbiasaan pada kekuatan tubuhnya. Maka, hati-hati istidraj baginya. Bukan karamah, secara berangsur Allah menariknya dalam kebinasaan.

Dan yang seperti ini biasanya memang Allah berikan kepada orang-orang kafir serta ahli maksiat. Sebagaimana keterangan berikut:

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka, tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al Mu’minun: 55-56)

“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Az Zumar: 49)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Allah SWT berfirman:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44)

Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 141) pun disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”

Syaikh As Sa’di pun menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As Sa’di, hal. 260).

Disebutkan juga dalam surat Al Qalam, kisah pemilik kebun seperti berikut ini:

Related image

17. [1]Sungguh, Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari[2],
18. tetapi mereka tidak menyisihkan (dengan mengucapkan, “Insya Allah”),
19. Lalu kebun itu diliputi bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur[3],
20. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita[4],
21. lalu pada pagi hari mereka saling memanggil.
22. “Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil.”
23. Maka mereka pun berangkat sambil berbisik-bisik[5].
24. “Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu[6].”
25. Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu[7] (menolongnya).
26. Maka ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata[8], “Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat[9],
27. bahkan kita tidak memperoleh apa pun[10].”
28. Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)[11]?”
29. Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim[12].”
30. Lalu mereka saling berhadapan dan saling menyalahkan.
31. Mereka berkata, “Celaka kita! Sesungguhnya kita orang-orang yang melampaui batas[13].
32. Mudah-mudahan Tuhan memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada yang ini, sungguh, kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita[14].”
33. Seperti itulah azab (di dunia)[15]. Dan sungguh, azab akhirat lebih besar sekiranya mereka mengetahui[16].

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, “Kisah di atas menunjukkan bagaimanakah akhir keadaan orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka telah diberi harta, anak, umur yang panjang serta berbagai nikmat yang mereka inginkan. Semua itu diberikan bukan karena mereka memang mulia. Namun, diberikan sebagai bentuk istidraj tanpa mereka sadari.“ (Tafsir As Sa’di, hal. 928)

Baca Juga: Ciri-ciri Suami yang Zalim Terhadap Istri

Pun jika ada kenikmatan dunia diberikan kepada orang mu’min, shalih, ahli ibadah, bukan orang kafir dan ahli maksiat, maka itu merupakan nikmat Allah yang disegerakan baginya di dunia. Atau bisa juga ujian untuk meninggikan lagi kedudukannya. Wallahu a’lam.