Hidayah Tak Memandang Usia, Rehuella Menjadi Mualaf Saat Duduk di Sekolah Dasar

Hidayah Tak Memandang Usia, Rehuella Menjadi Mualaf Saat Duduk di Sekolah Dasar
google.com

Seruni.id – Hidayah yang datang tak kenal usia, bahkan tak peduli gender sekalipun. Hidayah bisa datang lewat mana saja, dan lewat siapa pun perantaranya. Maka ketika hidayah sudah terlihat, jangan menunggu lebih lama lagi untuk mendekat. Sebab, sebagaimana yang telah Allah katakan, satu langkah kita mendekat kepada-Nya, seribu langkah Allah menuju kita.

Hidayah Tak Memandang Usia, Rehuella Menjadi Mualaf Saat Duduk di Sekolah Dasar
google.com

Memeluk Islam di Bangku Sekolah Dasar

Dalam artikel kali ini, mengisahkan tentang seorang gadis cantik yang menerima hidayah untuk masuk Islam ketika dirinya duduk di bangku sekolah dasar. Ia adalah Rehuella Meira Velencia Hasiani. Mungkin banyak yang tak menyangka, anak semuda ini bisa mendapatkan hidayah. Namun, seperti yang sudah dijelaskan di atas, hidayah datang tak mengenal usia. Baik tua, maupun muda berhak menerimanya.

Berbeda dari anak-anak pada umumnya, yang biasanya beragama mengikuti keyakinan orangtuanya atau dipaksa pindah agama. Namun, perempuan yang lebih akrab disapa Cia ini, ketika menjadi mualaf bukan karena paksaan lantaran sang Ibu telah lebih dulu memeluk Islam. Dia mengenang kembali rasa haru yang dialaminya lima tahun lalu.

Bagaimana tidak, ia yang menjadi anak kesayangan ini, merasa dikecekawakan ketika Ibunya berpindah agama. Sejak kecil, Cia memang dikenal sebagai anak yang taat, termasuk dalam urusan beribadah. Sebelum memeluk Islam, ia sangat meyakini agama sebelumnya, dan sang Ibulah yang menjadi panutannya. Karena saat itu, Ibunya adalah seorang aktivis.

Meskipun Cia masih duduk di kelas lima SD, namun saat itu emosinya sudah meluap-luap layaknya orang dewasa. Keputusan Ibunya untuk menjadi mualaf, membuat kepercayaannya hancur berpekping-keping. Dia marah, kecewa, bahkan parahnya mereka saling bermusuhan. Tak lagi ada pelukan hangat, atau sekedar senda gurau yang biasa mereka lakukan bersama.

“Aku sempet marah sama Ummi dan nggak mau ngomong, ummi juga kayaknya nggak berani bahas soal Islam sama aku waktu itu,” jelas dia.

Ibunya Masih Enggan Membahas

Elisabeth Janita Ruru, itulah nama Ibunya. Saat itu, sang ibu mengaku belum siap mengajak apalagi harus memaksa anak yang dilahirkan secara prematur ini, untuk mengikuti keyakinannya. Ia hanya takut dikecewakan oleh putri kecilnya. Demi menghindari saat hati akibat perkataan tidak mengenakan yang keluar dari bibir gadis itu, ia lebih memilih untuk diam dan bersabar sampai waktunya tiba.

Meski keduanya tak saling berbicara, namun sebagai seorang Ibu, ia tetap memenuhi segala kebuthan sang anak. Sampai waktu yang ditunggu-tunggu itu tiba, hidayah Islam yang kedua dalam keluarganya itu datang. Kakaknya yang bernama Graciela Victoria Safira (18) memeluk Islam. Ia sempat mengalami sakit parah. Dimana ia harus dioperasi karena penyakit skolosis yang semakin parah, hingga menyebabkan kelumpuhan.

Di meja operasi inilah, sang kakak menenui hidayahnya. Dia pun akhirnya bersyahadat saat itu juga sambil disaksikan dokter dan perawat. Ini menjadi momen mengharukan sekaligus menjadi awal perasaan Cia tergugah untuk mulai mencari tahu tentang Islam. Cia bertanya-tanya, alasan ibu dan kakaknya mau menerima Islam dengan mudah.

Ketika itu dia masih belum paham. Karena ego yang melekat dalam dirinya membatasi Cia untuk menerima kenyataan bahwa Ibunya menjadi Muslim. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, tersimpan sedikit rasa iri.

“Jujur, saat itu aku iri sama kakak, kakak bisa dengan mudah menerima Islam dan mama lebih terbuka untuk bahas Islam sama kakak, tapi mengapa aku nggak diajak bicara,” tutur dia.

Ingin Kembali Dekat dengan Sang Ibu

Padahal, ia ingin sekali kembali dekat dengan Ibunya dan diajak berbicara tentang Islam. Sayangnya, egonya masih sangat tinggi, terlebih ibunya pun masih diam dan tak mau membahas hal ini, karena tingkah Cia yang masih sulit didekati.

Saat dia duduk di semester akhir di sekolah dasar inilah, Cia mulai menjadi sosok yang lebih terbuka. Daia berharap Ibunya tak segan menanyakan tentang pilihan keyakinannya. Keinginannya tersebut akhirnya tersampaikan lewat Ayah sambungnya. Karena saat itu, mereka masih belum juga saling bicara. Maka Ayahnyalah yang menjadi perantaranya.

Sejak Ibu dan kakaknya memeluk Islam, Cia selalu memperhatikan tingkah laku dan kegiatan ibadah mereka. Bahkan, Cia sempat ikut shalat di masjid untuk mencari tahu kebiasaan Muslim. Akhirnya, Cia mulai memahami alasan kedua orang yang sangat ia sayangi menjadi Muslim. Ternyata menjadi Muslim membuat hidup lebih tenang dan damai.

Dia memutuskan untuk memeluk Islam pada Desember 2015. Awalnya dia bersyahadat di depan keluarganya kemudian bersyahadat ulang di masjid di daerah rumahnya di Rempoa. Setelah bersyahadat, dia merasa haru dan bahagia. Islam membuatnya lebih damai apalagi setelah menjalani ibadah dan syariatnya.

Baca Juga: Rosie Gabrielle, Biker Cantik yang Jadi Mualaf Setelah Melakukan Perjalanan ke Pakistan

Cia yang bersekolah di sekolah agama Kristen saat itu memang tidak terlalu banyak mengalami konflik dengan teman-temannya. Ketika itu dia berada di tahun terakhir sekolah dasar, sehingga tidak banyak teman yang tahu tentang keislamannya.

“Aku sengaja nggak bilang ke teman-teman kalau aku sudah mualaf, nggak enak saja lagi pula sudah mau lulus, jadi nggak terlalu masalah,” ujar dia.

Hanya saja saat kembali ke sekolah untuk mengambil ijazah, banyak teman dan guru terkejut karena dia kini mengenakan jilbab. Beberapa teman-temannya baik di sekolah maupun di gereja ada yang masih bersahabat adapula yang telah menjauh. Namun, dia tidak merasa terbebani karena, sejak lulus dan di sekolah yang baru dia memiliki teman yang semakin banyak. Bahkan teman-temannya yang kini mayoritas muslim antusias dengan keislamannya.

“Teman-temanku antusias tanya-tanya tentang aku yang jadi Muslim, mereka senang dan membantu aku sekali apalagi dalam mempelajari pelajaran agama Islam,” ujar dia.