Ini Aturan Membayar Fidyah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Ini Aturan Membayar Fidyah bagi Ibu Hamil dan Menyusui
bimbunganislam.com

Ini Aturan Membayar Fidyah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Seruni.id – Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang ketiga. Setiap orang yang beragama Islam, mempunyai kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa, salah satunya di bulan Ramadhan. Meski demikian, Allah SWT memberikan keringanan bagi mereka yang tidak dapat menajlankan ibadah puasa. Entah karena sakit, sudah usia lanjut, sedang hamil, atau menyusui.

Ini Aturan Membayar Fidyah bagi Ibu Hamil dan Menyusui
sangpencerah.id

Untuk ibu hamil dan menyusui yang tidak melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, mereka diwajibkan untuk membayar fidyah. Namun, ada pula yang berpendapat sebaiknya mengganti dengan puasa di lain waktu. Lantas, harusnya seperti apa? Untuk mendapatkan jawaban selengkapnya, kalian bisa menyimak aritkel ini sampai selesai, ya.

Apa yang Dimaksudkan dengan Membayar Fidyah?

Fidyah merupakan bentuk masdar dari kata dasar ‘fadaa’, yang artinya mengganti atau menebus. Adapun secara istilah, fidyah berarti sejumlah harta benda dalam kadar tertentu yang wajib diberikan kepada fakir miskin sebagai ganti suatu ibadah yang ditinggalkan. Salah satunya adalah membayar fidyah yang diberikan setelah meninggalkan puasa Ramadhan. Terutama oleh mereka yang sudah berusia lanjut dan tidak mampu melaksanakannya.

Apakah Ibu Hamil dan Menyusui Harus Membayar Fidyah atau Hanya Mengqadhanya saja?

Menurut pendapat para sahabat dan tabiin, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Said bin Jabir menjelaskan, bahwa ibu hamil dan menyusui dan tidak menjalankan ibadha puasa Ramadhan, cukup membayar fidyah tanpa harus melakukan qadha.

Namun, menurut Imam Hanafi, bahwa wanita hamil yang tidak melakukan puasa Ramadhan, maka cukup mengqadha saja. Yakni, mengganti puasanya di lain hari tanpa harus membayar fidyah.

Imam Nawawi juga mengatakan: “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).” (Al-Majmu’: 6-177)

Wahabah Zuhaili, DR. Yusuf Al-Qardhawi, dan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani berpendapat bahwa ibu hamil yang tidak melakukan puasa Ramdhan maka harus melakukan qadha tanpa harus bayar fidyah. Menurut mereka, fidyah hanya boleh dilakukan oleh orang-orang lanjut usia yang kondisinya sangat lemah sehingga tidak memungkinkan berpuasa.

Di Indonesia sendiri, paling banyak yang menggunakan madzhab Imam Syafi’i. Maka, jika ibu hamil dan menyusui takut akan kesehatan dirinya dan janin, maka dibolehkan tidak berpuasa. Kemudian mengganti puasanya sekaligus membayar fidyah yakni memberi makan kepada fakir miskin.

“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu ‘Umar RA ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (Al-Baihaqi dalam Sunan dari Imam Syafi’i, sanadnya shahih).

Bagaimana Menghitung Besaran Fidyah?

Untuk menghitung besaran membayar fidyah, terdapat beragam pendapat dari apra ulama. Besaran fidyah itu adalah satu mud dengan mud Nabi Muhammad SAW. Setiap satu mud digunakan untuk membayar satu hari puasa yang ditinggalkan.

Ukuran mud adalah ukuran telapak tangan manusia untuk memuat atau menampung bahan makanan. Misalnya seperti beras, gandum, kurma dan lainnya. Jika diukur dengan ukuran zaman sekarang, maka kira-kira akan menjadi 0.675 Kg atau 0.688 liter, atu kira-kira ¾ liter beras untuk satu hari puasa.

Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi’i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi Muhammad SAW.

Namun, ada pula pendapat lain dari Abu Hanifah yang mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah dua mud gandum dengan ukuran mud Nabi Muhammad SAW atau setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang.

Baca Juga: Keutamaan dan Niat Puasa Sunnah Arafah Menjelang Idul Adha

Bolehkah Membayar Fidyah Diganti dengan Uang?

Fidyah pada dasarnya adalah pengganti dari suatu ibadah yang telah ditinggalkan, berupa sejumlah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Dengan mengamati definisi dan tujuan fidyah yang merupakan santunan kepada orang-orang miskin, maka boleh saja memberikan fidyah dalam bentuk uang. Terutama jika sekiranya lebih bermanfaat.

Namun, jika ada indikasi bahwa uang tersebut akan digunakan untuk foya-foya atau justru disalahgunakan, maka kita wajib memberi­kannya dalam bentuk bahan makanan pokok.

Bagaimana Cara Membayar Fidyah?

Pembayaran fidyah lebih utama dilakukan dalam bulan puasa sampai sebelum salat Id. Pembayaran fidyah juga bisa dilakukan lewat lembaga yang mengelola zakat.

Cara membayar fidyah dalam bentuk uang:

• Menghitung jumlah hari tak puasa
• Diniatkan untuk membayar fidyah
• Mendatangi pengelola zakat setempat
• Menyampaikan maksud untuk membayar fidyah ke panitia zakat
• Panitia zakat akan membaca doa sebagai tanda fidyah telah dibayarkan