Seruni.id – Hari minggu lalu saya ketemu Rex Marindo, salah satu bos Warung Upnormal Grup (nama asli grupnya si Cita Rasa Prima Indonesia Berjaya).
Ini sudah pertemuan saya yang kesekian kali. Selalu menyenangkan mendengar cerita dia jatuh bangun mendirikan bisnisnya, apalagi sambil “ditraktir” kopi di kafenya yang baru, Upnomal Coffee Roaster, Jl Wahid Hasyim, Jakarta.
Selalu ada yang baru di ceritanya.
Dia lulusan Universitas Parahyangan Bandung, menekuni dunia marketing, yang kini menjadi Direktur Pemasaran Cira Rasa Prima Group.
Dia seperti Midas dalam mitologi Yunani. Seolah apa pun yang disentuhnya menjadi emas.
Namanya menjadi buah bibir para praktisi pemasaran. “Bagaimana dia bisa membuat branding keren dari sebuah produk sederhana seperti Indomie dan dijual lebih valuable sesuai kantong anak kafe lewat Upnormal,” begitu kata banyak orang.
Memulai bisnis kuliner di 2013 (sebelumnya menjadi konsultan marketing) dengan membuat Nasi Goreng Mafia bersama teman-temannya seperti Danis Puntoadi, Stefi Kurniadi, Sarita Sutedja dan beberapa orang di Bandung.
Dengan modal Rp 100 juta saja (Rp 60 jutanya untuk sewa tempat di Jl Dipatiukur), dia nekat meninggalkan bisnis konsultan pemasaran dan banting setir menjadi tukang nasi goreng. Nasi Goreng Rempah Mafia namanya.
Dari Merek Jatuh ke Hati
Warung Nasi Goreng Rempah Mafia itu booming dan dalam waktu singkat sempat menjadi 28 cabang.
Lalu 2014 mendirikan Bakso Boedjangan yang sekarang sudah menjadi 25 cabang. Setahun kemudian, 2015 Rex dkk meluncurkan Warung Upnormal.
Akhir tahun ini, jumlah cabang Warung Upnormal akan menjadi 80 cabang. Satu cabang Warung Upnormal biaya franchisenya bisa mencapai lebih dari Rp 4 miliar.
Hanya empat tahun, Rex dan teman-temannya di CRP punya 80 cabang Upnormal, 25 cabang Bakso Boedjangan, 12 cabang Nasi Goreng Mafia, dan 6 restoran Sambal Karmila.
Saat di sebuah pelatihan Endeavour Global di Malaysia dia ditanya, “Setelah Anda kaya, Anda terkenal setiap ketemu orang, orang mengajak selfie, lalu so what?” tanya seorang mentor. Rex seperti terkesiap. “Iya buat apa,” katanya dalam hati.
Rex punya jawaban tapi mulutnya tercekat. Dia melihat dirinya sendiri. Dia beda dengan OKB (orang kaya baru) yang berubah saat bisnisnya meledak.
Harta OKB kerap dihabiskan untuk barang-barang konsumsi seperti baju mahal, jam tangan Rolex yang harganya ratusan juta sampai puluhan miliar rupiah, mobil mewah dan lain-lain. Rex tidak.
Dia ingat saat pertama kali sukses membuka bisnis kuliner. Lelaki kelahiran Palembang itu menahan diri membeli mobil dan tetap memakai motor. Uang yang didapat dia tanamkan kembali untuk membuka lebih banyak resto cabang.
Rex dulu dan Rex sekarang tak ada beda, begitu kata teman-temannya. Ke mana-mana dia tak butuh memakai baju mahal.
“Baju kebesarannya” adalah kaos hitam kaos hitam Upnormal bertulisan “Kopi untuk Indonesia”. “Semakin banyak cabang resto baru dibuka, kaos saya seperti ini semakin banyak. Saya punya kaos selusin kayak begini.”
Tak ada secuil arloji di tangannya. Celana jeans dan sepatu olahraganya juga sepatu kebanyakan orang, seperti New Balance, Adidas atau sebangsanya.
Orang pun tak tahu apakah sepatunya original atau sepatu KW-1?
Iya jadi buat apa semua (kekayaan dan ketenarannya) ini?” kata Rex menirukan mentornya. Rex punya jawabannya. “Ini semua untuk ibadah. Bisa menjadi kran (penyalur) rezeki bagi 3.500 karyawan itu membahagiakan.”
Kita semuanya ini sedang deal dengan The Greatest Investor: God! Jadi itu yang membuat saya tetap bersemangat.”
Semoga kita bisa belajar dari Rex Marindo dkk. Untuk apa kita mengejar semua ini—apalagi dengan menghalalkan segala cara?
Ya, segelas kopi dan obrolan dengan Rex di sebuah diskusi, telah menyadarkan semua ini fana dan akhirnya berpulang kepada The Greatest Investor.
Burhan Sholihin, penggemar kopi dan dotcomer