Seruni.id – Ada apa dengan mudik? Penghujung Ramadan menyapa umat Islam, pun umat Islam Indonesia. Mudik, menjadi kosa kata yang paling sering didengar dan dibaca umat Islam Indonesia saat ini, tentu saja selain i’tikaf di 10 malam terakhir Ramadan.
Mudik merupakan kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik menjadi fenomena yang jarang ditemui di negeri lain kecuali Indonesia. Mudik atau kembali ke udik (kampung) tidak lagi menjadi sekadar tradisi, tapi mudik juga sebagai fenomena pergerakan dan mobilitas manusia Indonesia dalam kurun waktu singkat dan dalam sebuah gelombang yang luar biasa besar.
Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, Mudik boleh dikatakan sebuah tradisi yang mutlak harus dilaksanakan. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. (wikipedia indonesia).
Baca juga: Waspada, Ini Daerah-daerah Rawan Longsor di Jalur Mudik Lebaran
Ada apa dengan mudik? Mudik berasal dari kata “kembali ke udik”. Udik sendiri memiliki makna kampung atau tempat yang jauh dari kota. Menurut budayawan Jacob Soemardjo, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang datang ke kampung halamannya untuk membersihkan pekuburan leluhur dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya. Kegiatan membersihkan makam leluhur dan doa tersebut rutin dilakukan sekali dalam setahun.
Tradisi masyarakat petani Jawa untuk membersihkan pekuburan leluhur dan melakukan doa bersama yang rutin dilakukan sekali dalam setahun ini, diduga sudah mengenal tradisi ini jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Kebiasaan membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan sanak keluarga sewaktu pulang kampung sampai saat ini masih banyak ditemukan di daerah Jawa.
Istilah mudik sendiri diyakini mulai berkembang sejak tahun 70-an. Ketika Jakarta sebagai ibukota negara mulai berkembang yang membuat banyak perantauan datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Saat ini, dapat dikatakan 80% jumlah penduduk Jakarta merupakan perantauan yang endapatkan libur terpanjangnya saat lebaran. Sehingga mudik menjadi fenomena yang rutin terjadi setiap tahunnya.
Ada apa dengan mudik? Mudik lebaran dapat dianggap sebagai sebuah ritual religius dan sosial. Religius karena kebiasaan ini dilakukan bersama dengan perayaan tahunan hari besar lebaran. Sosial karena kebiasaan mudik lebaran sarat akan makna kekeluargaan karena didalamnya terjadi proses reuni anggota keluarga. Bisa dikatakan budaya mudik adalah suatu nilai sosial positif bagi masyarakat Indonesia, karena dengan mudik berarti masyarakat masih menjunjung nilai silaturahmi antara keluarga.
Mudik khususnya menjelang lebaran bukan hanya menjadi milik umat muslim yang akan merayakan idul fitri bersama keluarga, namun telah menjadi milik “masyarakat indonesia” seluruhnya. karena pada dasarnya bersilaturahmi adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat hidup tanpa orang lain, meskipun manusia adalah juga makhluk individu yang berhak menetukan tujuan hidupnya sendiri.
Ada apa dengan mudik? Sebenarnya pulang kampung bukan hanya terdapat di Indonesia, di masyarakat eropa atau amerika pun, mereka memiliki tradisi berkumpul makan bersama keluarga besar di malam natal. meskipun mobilisasi yang ada tak sehebat “pulang kampung” di indonesia. diperkirakan mobilitas mudik di indonesia, adalah mobilisasi penduduk terbesar di dunia setiap tahunnya.
Orang yang mencintai kampung halamannya bisa dikatakan merupakan orang yang tidak lupa dari mana dia berasal, lebih filosofis adalah ibarat kacang yang tak lupa akan kulitnya. Oleh karena itu, mudik juga dapat digunakan untuk sebuah refleksi diri kembali ke asal, kembali ke belakang, ke kehidupan masa kecil seseorang.