Lesu Ekonomi? Ah, yang Bener! Buktinya Tiket Konser Jutaan Tetap Habis!

Karikatur lucu seseorang membuka dompet yang hanya berisi uang recehan dan tiket konser, dengan ekspresi wajah menangis.

Kalau denger berita soal ekonomi yang katanya “lagi seret”, gampang banget buat langsung kebayang dompet yang makin tipis, makan di luar yang makin jarang, dan rencana liburan yang di-pending sampai akhir zaman.

Tapi, tunggu dulu. Ternyata, di tengah cerita ekonomi yang katanya “lagi susah”, ada satu fenomena menarik yang bikin banyak orang geleng-geleng kepala (dan mungkin nyengir sambil mikir, “Yakin nih lagi susah?”).

Tiket konser dengan harga jutaan rupiah ludes terjual. Bukan cuma satu-dua konser, tapi beragam konser dari penyanyi lokal sampai internasional, genre rock sampai K-pop, semua laris manis.

Gimana enggak heran, kan? Di satu sisi, ada orang yang katanya menunda beli kopi premium karena “lagi hemat”, tapi di sisi lain, mereka rela antri untuk beli tiket konser seharga langganan streaming setahun.

Nah, fenomena ini jadi menarik buat dilihat lebih dalam.

Apakah ini pertanda anomali ekonomi, atau sebenarnya ada faktor lain yang bikin masyarakat tetap memilih hiburan mahal meski katanya lagi “hemat”?

Lebih jauh lagi, apakah ini semua ada hubungannya dengan kesehatan mental dan kebutuhan kita akan ‘healing’? Mari kita coba kupas, (bawang kali ah)

 


Tren Budaya Populer & Escapisme: Kenapa Konser Jadi Pelarian Utama?

Bayangkan begini: setelah hari-hari kerja yang penuh tekanan, dikejar deadline, kerjaan yang nggak ada habisnya, kadang kita memang butuh semacam “pelarian.”

Salah satu pelarian yang jadi tren belakangan ini adalah konser musik. Entah bagaimana, ada kepuasan tersendiri saat bisa menikmati konser, bernyanyi bersama, dan lupa sejenak sama urusan duniawi.

Budaya konser ini bukan sekadar nonton penyanyi favorit tampil live. Ada aspek lebih dalam yang membuat konser jadi pengalaman yang dicari banyak orang.

Konser memberikan sensasi “hidup di saat ini” yang mungkin kita nggak rasain sehari-hari.

Berdiri berdesakan, ikut nyanyi, atau sekadar angguk-angguk kepala dengan ribuan orang lainnya—semua bikin kita merasa jadi bagian dari sesuatu yang besar.

Menurut psikolog, ini adalah bentuk escapisme, alias cara buat lari sebentar dari realitas.

Di tengah ekonomi yang seret, escapisme ini justru jadi penting buat banyak orang. Fenomena “spend now, worry later” atau “nikmati sekarang, bayar nanti” yang kian populer (paylater kamu udah dibayar belum?), menggambarkan kebutuhan kita buat sejenak lari dari stres.

Jadi, konser nggak cuma soal musik, tapi soal pengalaman intens yang “worth it” buat bayar lebih.

 


Kesehatan Mental dan Hiburan: Benarkah Konser Adalah Medium Pelepas Stres?

Kalau kita lihat dari sisi psikologi, hubungan antara hiburan dan kesehatan mental memang erat banget.

Konser musik, misalnya, bukan cuma soal hiburan atau gengsi karena bisa nonton artis terkenal. Penelitian menunjukkan bahwa musik punya efek terapeutik yang cukup kuat.

Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Psychology, disebutkan bahwa mendengarkan musik—apalagi secara live—dapat meningkatkan produksi hormon endorfin, alias hormon kebahagiaan.

Hormon ini membantu kita merasa lebih bahagia, rileks, dan puas.

Sebuah studi lain dari International Journal of Mental Health and Addiction menemukan bahwa pengalaman menonton konser bisa menurunkan kadar kortisol (hormon stres) dalam tubuh.

Jadi, buat yang bilang konser itu buang-buang duit, eh, coba dipikir lagi! Mungkin konser adalah cara kita menjaga kesehatan mental, apalagi di masa ekonomi sulit.

Hiburan ini bukan cuma jadi ajang ketemu idola, tapi juga jadi cara buat mengatasi kecemasan dan stres yang kadang suka datang tiba-tiba.

Sebagai contoh, konser K-pop yang penuh dengan lightstick dan fan chant punya kekuatan magis tersendiri buat para penggemarnya.

Selama konser berlangsung, seakan nggak ada yang namanya masalah di dunia ini.

Nggak heran kalau akhirnya, di tengah ekonomi yang katanya lagi lesu, tiket konser malah jadi prioritas belanja sebagian orang. Kesehatan mental nggak bisa ditunda-tunda, kan?

 


Kata Ahli Tentang Fenomena Ini: Healing Berbayar di Masa Ekonomi Sulit?

Beberapa pakar ekonomi dan sosiolog juga angkat bicara tentang fenomena aneh ini.

Di tengah masa sulit, banyak yang memperhatikan bahwa masyarakat kita cenderung tetap mengalokasikan dana untuk hiburan mahal.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Erwin, seorang ahli sosiologi dari Universitas Indonesia, konser dan acara hiburan besar telah menjadi bagian dari budaya masyarakat modern yang sulit dilepaskan.

Beliau menyebut bahwa ini adalah bagian dari “investasi sosial,” di mana orang merasa perlu untuk tetap terhubung dengan komunitasnya, salah satunya melalui konser musik.

Selain itu, Dr. Maria Ardiansyah, psikolog klinis, mengatakan bahwa hiburan berbayar seperti konser punya fungsi sebagai “self-reward” di tengah tekanan hidup.

Dalam psikologi, self-reward penting buat menjaga kesehatan mental dan motivasi individu. “Meskipun keadaan ekonomi sulit, orang tetap butuh apresiasi dan hiburan untuk diri mereka sendiri.

Dalam batas yang wajar, ini bahkan bisa jadi hal positif untuk menghindari burnout,” jelas Dr. Maria.

Jadi, ketika masyarakat tetap membeli tiket konser di tengah ekonomi yang sulit, sebenarnya mereka sedang melakukan apa yang disebut “healing berbayar.”

Kita semua tahu healing nggak harus selalu mahal, tapi kadang, pengalaman menyenangkan yang butuh biaya tinggi juga bisa jadi investasi untuk mental dan kesejahteraan kita.

Lagipula, hidup di masa sekarang kan memang nggak mudah. Kalau konser musik bisa bikin sedikit bahagia, kenapa nggak?

 


Kesimpulan: Refleksi Singkat Tentang Ekonomi, Kesehatan Mental, dan Peran Hiburan

Jadi, dari fenomena konser laris di tengah ekonomi yang lesu ini, kita bisa lihat ada banyak faktor yang main di balik layar.

Ini bukan sekadar soal orang-orang “sok tajir” di tengah masa susah, tapi ada kebutuhan mental dan emosional yang terpenuhi lewat pengalaman konser.

Satu atau dua kali nonton konser mungkin nggak akan bikin dompet jebol, tapi kalau jadi kebiasaan, ya, mungkin perlu dipikirkan ulang soal prioritas finansialnya.

Di sisi lain, konser yang laris di masa ekonomi sulit bisa dilihat sebagai tanda bahwa masyarakat kita mulai sadar pentingnya menjaga kesehatan mental, meskipun harus keluar duit lebih.

Bagi sebagian orang, ini adalah investasi dalam bentuk “me time” yang bernilai, sementara bagi yang lain, ini adalah momen untuk escape dari rutinitas yang membosankan.

Tentu saja, kalau kita bisa menemukan cara lain untuk healing yang lebih hemat, itu juga pilihan yang bijak.

Tapi, kalau memang nonton konser bisa bikin hidup lebih berarti, dan bikin kita lupa sejenak sama masalah hidup, ya… mungkin konser memang jadi pilihan yang nggak sepenuhnya salah, hidup itu berat, kadang kita perlu hiburan.

 


Tren Budaya Populer & Escapisme: Dari Viral TikTok Sampai ‘Fear of Missing Out’ (FOMO)

Budaya konser kini semakin dekat dengan fenomena viral di media sosial, terutama di TikTok dan Instagram, di mana hampir setiap konser besar akan ramai dibicarakan di sana.

Kadang kita jadi ikut merasakan euforia konser meski hanya lewat layar ponsel. Dan jangan lupakan “Fear of Missing Out” alias FOMO, ketakutan kalau kita nggak ikutan, bakal kelewatan momen penting.

FOMO ini memang punya daya tarik besar, karena siapa sih yang nggak ingin punya momen berharga, apalagi bisa dipamerin di medsos?

Tren FOMO ini sering kali jadi pemicu utama kenapa orang rela ngantre bahkan rebutan tiket konser.

Menurut laporan Journal of Consumer Research, FOMO membuat orang merasa tertekan untuk ikut serta dalam pengalaman yang dianggap penting atau berharga di lingkup sosial mereka.

Dalam hal ini, konser artis terkenal adalah momen yang dianggap berharga bagi banyak orang, terutama di kalangan anak muda.

Ditambah lagi, budaya konser sekarang semakin marak karena adanya kolaborasi unik di dunia musik.

Konser yang menampilkan berbagai kolaborasi, seperti antara penyanyi pop dan band indie atau penyanyi lokal dan internasional, menjadi “magnet” yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan.

Akibatnya, konser nggak hanya jadi tempat menonton musik, tapi juga menjadi semacam ritual sosial di mana orang bisa merasakan kebersamaan dan euforia bersama.

Satu hal yang juga menarik adalah bagaimana konser tidak hanya digelar di kota besar, tapi sudah mulai merambah ke kota-kota kecil.

Hal ini meningkatkan akses masyarakat luas untuk menikmati konser dan seolah membawa hiburan kelas atas ke depan pintu mereka.

Meski harga tiketnya kadang tetap selangit, orang-orang yang tinggal di daerah merasa ini adalah kesempatan langka yang nggak boleh dilewatkan.

 


Mengapa Konser Jadi “Self-Reward” di Tengah Ekonomi Sulit?

Dalam psikologi, dikenal istilah self-reward, yakni tindakan memberi hadiah pada diri sendiri sebagai bentuk apresiasi atau dorongan positif.

Self-reward ini sering dilakukan saat seseorang merasa berhasil mencapai sesuatu, atau justru ketika butuh suntikan semangat untuk menghadapi tekanan hidup. Nah, di sinilah konser memainkan peranannya.

Banyak orang yang merasa bahwa konser adalah bentuk self-reward yang ideal.

Setelah bekerja keras dan mengumpulkan uang, menonton konser bisa menjadi “pelarian” yang sekaligus bentuk apresiasi diri. Menurut jurnal Psychology of Well-Being, self-reward yang dilakukan secara rutin, termasuk hiburan berbayar seperti konser, memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan mental individu.

Meskipun kita tahu efeknya sementara, setidaknya konser bisa membantu kita merasa “hidup” sejenak, menghilangkan penat, dan melupakan tekanan ekonomi sehari-hari.

Selain itu, Dr. Stephanie Maier, seorang peneliti psikologi di University of Melbourne, menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, hiburan mahal seperti konser bisa membantu mendorong seseorang untuk lebih produktif.

“Ketika seseorang punya tujuan spesifik, seperti menonton konser artis favorit, ia akan termotivasi untuk bekerja lebih keras, sehingga tujuan finansialnya tetap tercapai,” ujarnya.

Jadi, bagi sebagian orang, konser mungkin bukan sekadar pengeluaran impulsif, tapi bagian dari motivasi hidup.

 


Dampak Jangka Panjang Hiburan Mahal Terhadap Kesehatan Mental

Meski konser bisa menjadi “obat” sementara bagi stres dan kecemasan, ada juga efek jangka panjang yang perlu diperhatikan.

Kalau terlalu sering dilakukan tanpa perencanaan finansial yang matang, kebiasaan membeli tiket konser mahal justru bisa menjadi beban ekonomi tersendiri, yang ironisnya berpotensi menambah stres di kemudian hari.

Menurut artikel di Journal of Financial Counseling and Planning, perilaku konsumtif yang tidak terkendali, terutama pada barang atau layanan mahal, sering kali berdampak negatif pada kesejahteraan finansial seseorang.

Akibatnya, beban ekonomi jangka panjang bisa mengganggu stabilitas mental dan emosional, yang justru berlawanan dengan tujuan awal “healing” itu sendiri.

Namun, bukan berarti kita nggak boleh sesekali merayakan hidup dan menikmati hiburan seperti konser.

Para ahli sepakat bahwa menikmati hiburan sesekali adalah hal yang sehat selama dilakukan dalam batas wajar dan disertai perencanaan yang bijak. Jadi, kalau ingin menikmati konser, nggak ada salahnya menabung terlebih dahulu atau memilih konser yang benar-benar sesuai minat, sehingga efek healing bisa maksimal tanpa membuat dompet semakin menipis (itu dompet apa jeruk).

 


Fenomena Konser Mahal Laku Keras: Antara Hiburan atau Status Sosial?

Nah, satu sisi lain dari fenomena konser laris di masa ekonomi sulit ini adalah soal status sosial. Nggak bisa dipungkiri, ikut menonton konser besar punya daya tarik sosial tersendiri.

Bagi sebagian orang, bisa ikut konser idola terkenal adalah simbol bahwa mereka punya daya beli dan akses ke hiburan premium.

Hal ini tentu memperlihatkan adanya sisi lain dari konser sebagai ajang pamer status sosial.

Menurut kajian dari Journal of Consumer Culture, beberapa orang mengaitkan pengalaman konser dengan citra diri yang ingin ditampilkan ke lingkungan sosialnya.

Dalam budaya digital saat ini, media sosial membuat fenomena ini semakin nyata. Foto konser, tiket, hingga cuplikan live story jadi “konten” yang memvalidasi eksistensi sosial seseorang di mata pengikutnya.

Namun, apakah fenomena ini sepenuhnya negatif? Tentu tidak selalu demikian.

Ada aspek positif dalam fenomena ini, terutama dalam hal bagaimana orang bisa merasakan kebahagiaan dan kebersamaan melalui konser musik. Melalui konser, mereka merasa memiliki kenangan yang akan dikenang seumur hidup. Dan jika kebahagiaan ini bisa membantu mereka menjadi lebih produktif dan bahagia, maka mengapa tidak?

Di sisi lain, dalam beberapa kasus, motivasi mengikuti konser lebih sebagai pengakuan sosial dapat membawa dampak negatif, terutama ketika orang terlalu memaksakan diri untuk membeli tiket mahal demi “dianggap ada” oleh lingkungannya.

Di sinilah pentingnya kesadaran individu untuk mengenali prioritas dan tidak memaksakan diri di luar kemampuan finansialnya.

 


Kesimpulan: Konser, Healing, dan Fenomena Ekonomi Unik Rakyat +62

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: Apakah konser mahal yang tetap laris di tengah ekonomi sulit ini hanya anomali atau cerminan kebutuhan masyarakat akan kesehatan mental? Jawabannya mungkin sedikit kompleks.

Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa masyarakat kita semakin sadar akan pentingnya kesehatan mental dan hiburan sebagai bentuk self-care.

Di sisi lain, fenomena ini juga bisa jadi refleksi dari kebutuhan sosial dan bahkan tren escapisme yang makin berkembang.

Bagaimanapun, konser sebagai medium hiburan memang punya efek positif, terutama dalam membantu individu melepas penat dan memberikan pengalaman berharga yang tak terlupakan.

Namun, penting juga untuk melihat fenomena ini secara bijak. Mengikuti konser boleh, tapi ingat juga untuk tetap memperhatikan kemampuan finansial kita. Karena pada akhirnya, hidup itu soal keseimbangan antara kebutuhan hiburan dan tanggung jawab finansial.

Kalau memang konser jadi cara terbaik buat healing, ya, nggak ada salahnya, asalkan tetap bijaksana.

Sebab, di balik harga tiket yang mahal, ada satu hal yang tak ternilai—kenangan dan kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan uang.

Baca Juga :

Mengenal Istilah FOMO dan Bahayanya

Sosial Media dan Standar Irasional: Kesehatan Mental di Tengah Tekanan Menjadi “Sempurna”