Sosial Media dan Standar Irasional: Kesehatan Mental di Tengah Tekanan Menjadi “Sempurna”

Seorang wanita muda dengan ekspresi cemas menatap layar smartphone, menunjukkan tanda-tanda stres dan kekhawatiran.

Sosial Media, Standar, dan Kisah Nenek Awet Muda

Baru-baru ini, sebuah video viral menghebohkan jagat media sosial. Seorang perempuan cantik dan terlihat awet muda menjadi perbincangan hangat.

Semua orang terkejut ketika mengetahui bahwa perempuan ini sebenarnya sudah menjadi seorang nenek!.

 

Banyak yang terkagum-kagum, tapi ada juga yang merasa sedikit tertekan.

Bagaimana tidak? Sekarang standar kecantikan bukan hanya tentang terlihat seperti model muda, tetapi juga menjadi nenek yang tidak terlihat seperti nenek.

Sosial media adalah platform yang penuh dengan standar baru dan sering kali tidak masuk akal, membuat orang merasa harus mengikuti tuntutan yang sebenarnya mustahil.

Standar irasional seperti inilah yang bisa berdampak buruk pada kesehatan mental kita. Tapi kenapa bisa begitu?

Mari kita bongkar bagaimana standar sosial media ini terbentuk, apa pengaruhnya terhadap kesehatan mental, dan apa kata para ahli tentang fenomena ini.

 


Sosial Media dan Standar Irasional: Awalnya dari Mana, Sih?

Sebelum membahas dampak sosial media pada kesehatan mental, kita perlu tahu dulu dari mana asal muasal standar kecantikan dan “kesempurnaan” di dunia maya ini.

Saat membuka Instagram, TikTok, atau platform lainnya, kita sering disuguhi gambar orang-orang yang tampak sempurna.

Mereka berlibur di tempat-tempat eksotis, makan makanan sehat yang indah (dan mungkin harganya lebih mahal daripada sepatu kita), dan tentu saja, selalu terlihat “flawless” tanpa kerutan, jerawat, atau kantung mata.

Tapi tunggu dulu, semua ini memang benar-benar nyata?

Sebagian besar konten di sosial media adalah hasil dari filter, editing, dan pose yang sudah dipilih dengan hati-hati.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sosial media cenderung menunjukkan “highlight reel” kehidupan orang lain.

Riset dari University of Pennsylvania menemukan bahwa penggunaan sosial media yang pasif—seperti hanya menonton kehidupan orang lain tanpa berinteraksi—berkorelasi dengan peningkatan perasaan tidak puas, terutama ketika pengguna membandingkan diri mereka dengan orang lain di platform tersebut.

Sosial media menciptakan ilusi bahwa kehidupan orang lain selalu sempurna.

Padahal, di balik layar, kita semua tahu bahwa hidup penuh dengan tantangan.

Ini seperti menonton highlight pertandingan bola dan mengira semua pemain selalu mencetak gol indah, padahal dalam kenyataannya banyak juga tendangan yang melenceng jauh!

 

Riset yang Mendukung Fenomena Ini

Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Social and Clinical Psychology menemukan bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktu di sosial media, semakin besar kemungkinan mereka merasa tidak puas dengan tubuh dan penampilan mereka sendiri.

Penelitian ini menyoroti peran besar yang dimainkan oleh sosial media dalam membentuk standar kecantikan yang tidak realistis.

Mereka juga mencatat bahwa perbandingan sosial—alias hobi membandingkan diri dengan orang lain—menjadi penyebab utama ketidakpuasan ini.

 

Viral, Nenek Awet Muda, dan Pengaruhnya

Kembali ke cerita nenek cantik yang viral, fenomena ini mencerminkan betapa kuatnya pengaruh sosial media dalam membentuk harapan yang tak masuk akal.

Banyak orang yang melihat video ini mungkin merasa termotivasi untuk merawat diri, tapi ada juga yang mungkin merasa terbebani dengan standar baru yang diciptakan: “Saya harus tetap cantik, bahkan ketika saya sudah jadi nenek!”

Ini, tentu saja, sebuah ekspektasi yang tidak realistis.

Meskipun kita semua ingin tetap sehat dan bugar seiring bertambahnya usia, tuntutan sosial media sering kali memaksakan ide bahwa kita harus terlihat seperti “versi muda” selamanya.

Apa kita sedang berkompetisi untuk menjadi Benjamin Button?

 


Dampak Sosial Media terhadap Kesehatan Mental

Sekarang mari kita bahas lebih dalam soal dampak sosial media terhadap kesehatan mental.

Riset demi riset menunjukkan bahwa sosial media memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis kita.

Apakah sosial media hanya buruk? Tentu tidak. Namun, ada beberapa aspek dari penggunaan sosial media yang bisa membahayakan kesehatan mental, terutama jika tidak dikelola dengan baik.

 

1. Kecemasan dan Depresi

Studi dari American Journal of Preventive Medicine mengungkapkan bahwa pengguna sosial media yang sering membandingkan diri mereka dengan orang lain cenderung memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi. Ini disebabkan oleh perasaan bahwa mereka tidak pernah cukup baik atau tidak bisa memenuhi standar sosial yang terlihat di layar mereka.

Satu hari Anda membuka Instagram dan melihat teman yang baru saja membeli mobil mewah, hari berikutnya Anda melihat selebriti favorit Anda yang tampak tanpa cela di pantai Bora Bora. Semua ini bisa membuat Anda merasa hidup Anda tidak sebaik milik mereka.

Dan seperti yang kita ketahui, semakin banyak waktu yang kita habiskan untuk “scrolling”, semakin dalam kita terperosok dalam lubang perbandingan ini. “Wah, si A sudah punya anak dua, tapi tubuhnya masih seperti anak kuliahan? Lah, aku makan bakso aja perut udah membuncit!”.

 

2. Gangguan Body Dysmorphia

Fenomena lain yang semakin meningkat akibat sosial media adalah gangguan body dysmorphia, di mana seseorang memiliki pandangan yang sangat negatif terhadap penampilan mereka, sering kali terfokus pada satu aspek tubuh yang mereka anggap “cacat”.

Penelitian yang diterbitkan di Psychiatry Research menemukan bahwa meningkatnya penggunaan filter di sosial media berkontribusi terhadap persepsi yang salah tentang tubuh.

Orang menjadi terobsesi dengan versi diri mereka yang dimanipulasi oleh filter—kulit yang lebih halus, wajah yang lebih simetris, tubuh yang lebih ramping. Akibatnya, mereka merasa penampilan asli mereka tidak cukup baik.

 

3. Fear of Missing Out (FOMO)

Sosial media juga memicu Fear of Missing Out (FOMO), atau rasa takut ketinggalan.

Ketika melihat orang lain menikmati hidup, liburan, atau pencapaian tertentu, kita sering merasa seolah-olah kita melewatkan sesuatu yang penting dalam hidup kita.

Sebuah studi yang diterbitkan di Computers in Human Behavior menunjukkan bahwa FOMO adalah salah satu penyebab utama stres dan kecemasan di kalangan pengguna sosial media.

Melihat orang lain selalu tampak sibuk dengan kegiatan menyenangkan membuat kita merasa hidup kita membosankan dan kurang berharga.

Dan yang paling lucu dari semua ini adalah, kita bisa saja merasa FOMO walaupun sedang rebahan di rumah sambil makan popcorn. “Lho kok dia liburan lagi, aku di rumah aja.” Padahal, orang lain juga bisa iri sama kita karena bisa santai-santai di rumah!

 


Pandangan Para Ahli Tentang Sosial Media dan Kesehatan Mental

Berbagai ahli kesehatan mental menyuarakan kekhawatiran tentang dampak sosial media terhadap kesejahteraan psikologis.

Dr. Jean Twenge, seorang psikolog dan penulis buku iGen, menyatakan bahwa sosial media adalah salah satu faktor utama yang berkontribusi pada meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi di kalangan generasi muda.

Twenge menjelaskan bahwa anak-anak muda yang menghabiskan lebih dari dua jam per hari di sosial media memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental.

Dia menambahkan bahwa platform-platform ini menciptakan lingkungan di mana individu terus-menerus merasa harus bersaing untuk “tampil terbaik”, dan ini bisa sangat merusak rasa harga diri mereka.

 

Solusi yang Ditawarkan Para Ahli

Beberapa ahli, seperti Dr. Tim Bono, seorang psikolog dari Washington University, menawarkan beberapa solusi sederhana untuk mengurangi dampak negatif sosial media:

  • Batasi Waktu di Sosial Media: Penggunaan sosial media yang berlebihan dapat memperburuk perasaan negatif. Cobalah untuk membatasi waktu harian Anda.
  • Fokus pada Interaksi Nyata: Alih-alih menghabiskan waktu hanya melihat hidup orang lain, luangkan lebih banyak waktu untuk berinteraksi secara langsung dengan orang-orang di sekitar Anda.
  • Ingat, Sosial Media Bukanlah Dunia Nyata: Sadarilah bahwa apa yang Anda lihat di sosial media hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang—dan sering kali, ini adalah bagian terbaik mereka yang sudah disunting dengan hati-hati.

 


Bagaimana Islam Memandang Sosial Media dan Kesehatan Mental?

Dalam Islam, menjaga kesehatan mental sangatlah penting. Rasulullah SAW mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal perasaan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Salah satu konsep penting dalam Islam adalah qana’ah, yaitu perasaan cukup dan bersyukur dengan apa yang dimiliki. Prinsip ini sangat relevan di era sosial media, di mana kita sering kali tergoda untuk membandingkan diri dengan orang lain.

 

Konsep Qana’ah dan Sosial Media

Dalam konteks sosial media, qana’ah mengajarkan kita untuk tidak merasa iri atau terbebani dengan pencapaian orang lain yang kita lihat di layar.

Islam mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, dan tidak memaksakan diri untuk memenuhi standar yang ditentukan oleh orang lain.

Selain itu, Islam juga mendorong kita untuk memperlakukan diri kita dengan baik dan menjaga kesehatan mental.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” Ini berarti bahwa kita harus merawat tubuh dan pikiran kita dengan sebaik mungkin, termasuk dengan menghindari hal-hal yang merusak kesehatan mental kita.

 

berikut hadist lengkapnya

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ قُلْتُ بَلَى قَالَ فَلَا تَفْعَلْ قُمْ وَنَمْ وَصُمْ وَأَفْطِرْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّكَ عَسَى أَنْ يَطُولَ بِكَ عُمُرٌ وَإِنَّ مِنْ حَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فَذَلِكَ الدَّهْرُ كُلُّهُ قَالَ فَشَدَّدْتُ فَشُدِّدَ عَلَيَّ فَقُلْتُ فَإِنِّي أُطِيقُ غَيْرَ ذَلِكَ قَالَ فَصُمْ مِنْ كُلِّ جُمُعَةٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ فَشَدَّدْتُ فَشُدِّدَ عَلَيَّ قُلْتُ أُطِيقُ غَيْرَ ذَلِكَ قَالَ فَصُمْ صَوْمَ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ قُلْتُ وَمَا صَوْمُ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ قَالَ نِصْفُ الدَّهْرِ

Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] telah menceritakan kepada kami [Rauh bin ‘Ubadah] telah menceritakan kepada kami [Husain] dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Salamah bin Abdurrahman] dari [Abdullah bin ‘Amru] dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku, lalu beliau bersabda: “Aku memperoleh berita bahwa kamu bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari, benarkah itu?” Aku menjawab; “Benar.” Beliau bersabda: “Jangan kamu lakukannya; namun tidur dan bangunlah, berpuasa dan berbukalah. Karena tubuhmu memiliki hak atas dirimu, kedua matamu memiliki hak atas dirimu, tamumu memiliki hak atas dirimu, istrimu memiliki hak atas dirimu. Sungguh, semoga panjang umur dan cukup bagimu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, dan suatu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, itulah puasa Dahr.” Abdullah bin ‘Amru berkata; “Aku bersikap keras dan beliau pun bersikap keras kepadaku, lalu kataku; “Sungguh aku masih kuat melakukan lebih dari itu?”. Beliau bersabda: “Berpuasalah tiga hari setiap Jum’at.” Abdullah bin ‘Amru berkata; “Aku bersikap keras dan beliau pun bersikap keras kepadaku, lalu kataku; “Sungguh aku masih kuat melakukan lebih dari itu?” Beliau bersabda: “Kalau begitu, berpuasalah seperti puasanya Nabiyullah Daud.” Aku bertanya; “Bagaimana puasa Nabiyullah Daud?” Beliau bersabda: “Yaitu puasa setengah zaman (sehari puasa sehari berbuka).”

[Bukhari]

Humor Sehat di Tengah Tekanan Sosial Media

Sebelum kita berakhir, mari kita tarik napas sejenak dan tertawa sedikit. Dalam menjalani kehidupan di era sosial media ini, humor adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan mental.

Terkadang, kita hanya perlu sedikit tertawa atas kesulitan-kesulitan kecil yang kita hadapi di dunia maya.

Bayangkan saja, kita semua pernah mencoba selfie yang sempurna, tapi apa yang terjadi? “Ya ampun, kok muka jadi kayak bakpao?!”.

Atau mungkin kita pernah merasa FOMO saat melihat teman liburan ke Bali, sementara kita hanya liburan ke… ah sudahlah. Tapi itulah hidup. Tidak semua hal di media sosial adalah kenyataan penuh.

 


Kesimpulan

Sosial media memang menawarkan banyak manfaat, tetapi juga membawa tantangan besar bagi kesehatan mental kita.

Dari menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis hingga memicu perasaan cemas dan iri hati, platform ini bisa sangat mempengaruhi bagaimana kita memandang diri sendiri dan hidup kita.

Namun, dengan kesadaran yang lebih tinggi, kita bisa mengelola penggunaan sosial media dengan bijaksana.

Menjaga kesehatan mental di era sosial media membutuhkan usaha, seperti membatasi waktu di platform, berfokus pada interaksi nyata, dan tentu saja, mengingat untuk selalu bersyukur atas apa yang kita miliki.

Jadi, ketika Anda merasa tergoda untuk membandingkan diri dengan nenek awet muda atau teman yang selalu tampak “sempurna”, ingatlah: Anda tidak perlu jadi sempurna. Cukup jadi diri sendiri, karena itulah versi terbaik Anda!

 


Pertanyaan Warganet

Bagaimana sosial media mempengaruhi kesehatan mental?
Sosial media dapat meningkatkan kecemasan, depresi, dan perasaan tidak puas, terutama ketika seseorang membandingkan hidupnya dengan orang lain di platform tersebut.

Apa standar kecantikan irasional yang diciptakan sosial media?
Sosial media sering kali menampilkan gambar yang sudah diedit dan difilter, menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis seperti wajah yang sempurna tanpa cela dan tubuh yang ideal.

Bagaimana cara mengurangi dampak negatif sosial media?
Beberapa cara meliputi membatasi waktu di sosial media, fokus pada interaksi dunia nyata, dan menyadari bahwa apa yang terlihat di sosial media tidak selalu mencerminkan kenyataan.

Apa yang dimaksud dengan FOMO di sosial media?
FOMO atau Fear of Missing Out adalah perasaan cemas karena merasa ketinggalan atau tidak ikut serta dalam sesuatu yang menyenangkan yang dilakukan orang lain, seperti yang terlihat di sosial media.

Apa yang diajarkan Islam tentang kesehatan mental di era sosial media?
Islam mengajarkan konsep qana’ah, yaitu bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik.

Bagaimana humor dapat membantu menjaga kesehatan mental?
Humor membantu mengurangi stres dan memberikan perspektif baru terhadap masalah yang dihadapi, termasuk tekanan dari sosial media.

Baca Juga : 

Kesehatan Mental Perempuan Milenial dan Gen Z: Tantangan dan Solusi

5 Kebiasaan yang Membuat Mental Jadi Lemah, Pernah Melakukannya?

Tips Jitu Hindari Anxiety Akibat Smartphone dan Medsos untuk Gen Z

 

 

usi