Kerajaan Kediri adalah salah satu kerajaan Hindu yang terletak di tepi Sungai Brantas, Jawa Timur. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-12 ini adalah bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Raja pertamanya bernama Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabu yang menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
Sejarah berdirinya Kerajaan Kediri diawali dengan perintah Raja Airlangga yang membagi kerajaan menjadi dua bagian, yaitu Jenggala (Kahuripan) serta Panjalu (Kediri) yang dibatasi dengan Gunung Kawi serta Sungai Brantas.
Tujuannya agar tak ada pertikaian. Kerajaan Janggala atau Kahuripan terdiri atas Malang serta Delta Sungai Brantas dengan pelabuhan Surabaya, Rembang, serta Pasuruhan, Ibu Kotanya Kahuripan. Sedangkan Kerajaan Panjalu (Kediri) meliputi Kediri, Madiun, serta Ibu Kotanya Daha.
Kemudian pada 1042, kedua putra Raja Airlangga memperebutkan tahta kerajaan hingga dengan terpaksa Airlangga membelah kerajaan jadi dua.
Hasil dari perang saudara itu, Kerajaan Panjalu diberikan pada Sri Samarawijaya yang pusatnya di Kota Daha.
Sedangkan Kerajaan Jenggala diberikan pada Mapanji Garasakan yang berpusat di Kahuripan. Dalam Prasasti Meaenga dijelaskan kalau Panjalu bisa dikuasai Jenggala serta nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052 M) diabadikan. Tetapi, pada peperangan setelah itu, Kerajaan Panjalu (Kediri) berhasil menguasai semua tahta Airlangga.
Masa Kejayaan Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri meraih puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas sampai hampir ke semua daerah Pulau Jawa.
Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan ketika itu semakin kuat saat terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya.
Tidak hanya daerah kekuasaannya saja yang besar, tetapi seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan Kediri makin disegani pada saat itu.
Kehidupan Politik
Kondisi politik pemerintahan serta kondisi masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yakni dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 serta pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225.
Kitab itu menggambarkan kondisi pemerintahan serta masyarakat jaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil serta pergantian tahta berjalan lancar tanpa menyebabkan perang saudara.
Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya serta empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) serta 1.000 pegawai rendahan.
Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan memperoleh gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, menggunakan sepatu kulit, perhiasan emas, serta rambutnya disanggul ke atas. Bila bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan kondisi pertanian, peternakan, serta perdagangan. Pencuri serta perampok bila tertangkap dihukum mati.
Sesudah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit lagi sekitar tahun 1116. Raja yang memerintah, diantaranya sebagai berikut.
1. Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja Bameswara pertama yaitu Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal semacam itu dijelaskan pada Prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 Masehi).
Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu:
- Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M)
- Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)
- Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)
- Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).
Prasasti yang lain yaitu Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 Masehi), namun tak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya? Lencana kerajaan yang dipakai yaitu tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan memerintah sampai tahun 1134 M.
2. Raja Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara yaitu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik yaitu Prasasti Talan berangka tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) jadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang digunakan yaitu Narasingha, namun pada Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang berperang atas Jenggala serta sekaligus untuk menunjukkan kalau Jayabaya merupakan pewaris tahta kerajaan yang sah dari Airlangga.
3. Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Sarweswara memerintah tahun 1159 sampai 1169. Lencana kerajaan yang dipakai yaitu Ganesha.
4. Sri Aryyeswara
Raja Sarweswara lalu digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha. Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara hanya hingga tahun 1181 serta digantikan oleh Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.
5. Sri Gandra
Pada saat pemerintahannya, Sri Gandra dikenal jabatan senapati sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri memiliki armada laut yang kuat. Di samping itu, dikenal juga pejabat yang memakai nama-nama binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra, Gajah Kuning, serta Macan Putih.
6. Kameswara
Kameswara memerintah Kerajaan Kediri tahun 1182–1185. Kameswara bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Pada saat pemerintahan Kameswara, seni sastra berkembang cepat.
7. Kertajaya
Sesudah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri yaitu Kertajaya atau Srengga. Gelar Kertajaya adalah Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana Digjayattunggadewanama. Kertajaya yaitu raja terakhir yang memerintah Kediri. Kertajaya memerintah Kediri tahun 1185–1222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya seringkali berselisih pendapat dengan para brahmana. Para brahmana lalu meminta perlindungan pada Ken Arok. Kesempatan emas itu dipakai Ken Arok untuk memberontak raja.
Oleh karenanya, terjadi pertempuran hebat di Ganter. Dalam pertempuran itu, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya pemerintahan Kertajaya, berakhir juga masa pemerintahan Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu Sindok.
Kehidupan Ekonomi
Kediri adalah kerajaan agraris serta maritim. Masyarakat yang hidup di daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh keadaan tanah yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberi kemakmuran untuk rakyat.
Masyarakat yang ada di daerah pesisir, hidup dari perdagangan serta pelayaran. Pada saat itu perdagangan serta pelayaran berkembang cepat. Beberapa pedagang Kediri telah melakukan hubungan dagang dengan Maluku serta Sriwijaya.
Pada saat itu, mata uang yang terbuat dari emas serta campuran antara perak, timah, serta tembaga telah dipakai. Hubungan antara daerah pedalaman serta daerah pesisir telah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak dipakai untuk lalu lintas perdagangan pada daerah pedalaman serta daerah pesisir.
Kehidupan Sosial Budaya
Keadaan masyarakat Kediri telah teratur. Penduduknya telah menggunakan kain hingga di bawah lutut, rambut diurai, dan tempat tinggalnya rapi dan bersih. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berbentuk emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan pada dewa serta Buddha.
Perhatian raja pada rakyatnya sangat tinggi. Hal semacam itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi mengenai kehidupan sosial masyarakat ketika itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukanlah berdasar pada pangkat serta harta bendanya, namun berdasar pada moral serta tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai serta menghormati hak-hak rakyatnya. Karena itu, rakyat bisa leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada jaman Kediri karya sastra berkembang cepat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada saat pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan pada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan pada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya serta Hariwangsa.’
Karya Sastra
Pada saat pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, diantaranya sebagai berikut:
- Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk mengenai cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
- Kitab Smaradhahana, berbentuk kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian pada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga mengatakan kalau nama ibu kota kerajaannya yaitu Dahana.
- Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa serta rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra itu, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada jaman Kediri, diantaranya sebagai berikut:
- Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi kisah Kresna sebagai anak nakal, namun dikasihi setiap orang karena senang membantu serta sakti. Kresna pada akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
- Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang menceritakan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai berbentuk relief di suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana ditemui pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna serta Kunjarakarna.
Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri runtuh pada saat pemerintahan Raja Kertajaya, dimana terjadi pertentangan antara raja dengan Kaum Brahmana. Raja Kertajaya dianggap tidak mematuhi agama dengan memaksakan mereka menyembah padanya sebagai dewa. Kaum Brahmana memohon pertolongan pada Ken Arok, pemimpin daerah Tumapel yang ingin memisahkan diri dari Kediri. Lalu terjadi perang antara rakyat Tumapel yang dipimpin Ken Arok dengan Kerajaan Kediri. Pada akhirnya pada tahun 1222 Masehi, Ken Arok berhasil menaklukkan Kertajaya serta Kerajaan Kediri menjadi wilayah bawahan Tumapel atau Singhasari.
Sebagai pemimpin di Kerajaan Singhasari, Ken Arok mengangkat Jayasabha (putra Kertajaya) sebagai bupati Kediri. Jayasabha digantikan oleh putranya Sastrajaya pada tahun 1258.
Lalu Sastrajaya digantikan putranya Jayakatwang (1271). Jayakatwang berupaya ingin membangun kembali Kerajaan Kediri dengan memberontak Kerajaan Singhasari yang dipimpin Kertanegara.
Terbunuhlah Raja Kertanegara serta Kediri berhasil dibangun oleh Jayakatwang.
Tetapi, kerajaan Kediri tak berdiri lama, Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara) berhasil meruntuhkan kembali Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kemudian, tak ada lagi Kerajaan Kediri.
Prasasti Peninggalan Kerajaan Kediri
Sejarah mengenai kerajaan Kediri diketahui dari beberapa peninggalan Kerajaan Kediri, salah satunya dari prasasti Kerajaan Kediri. Berikut prasasti-prasastinya.
1. Prasasti Sirah Keting
Prasasti ini berisi mengenai pemberian penghargaan berbentuk tanah dari Jayawarsa pada rakyat desa sebab sudah berjasa.
2. Prasasti di Tulungagung serta Kertosono
Kedua prasasti tersebut berisi mengenai permasalahan keagamaan. Kedua prasasti ini berasal dari Raja Kameshwara.
3. Prasasti Ngantang
Prasasti Ngantang berisi mengenai pemberian hadiah berbentuk tanah yang dibebaskan dari pajak oleh Jayabaya yang ditujukan buat rakyat Desa Ngantang sebab sudah mengabdi untuk Kemajuan Kediri.
4. Prasasti Jaring
Prasasti Jaring dibuat oleh Raja Gandra. Berisi nama-nama yang berasal dari nama hewan, seperti Tikus Jinada, Kebo Waruga, dan seterusnya. Hal semacam ini menimbulkan adanya birokrasi kerajaan.
5. Prasasti Kamulan
Prasasti Kamulan berisi mengenai peristiwa ditaklukkannya musuh oleh Kediri di istana Katang-Katang.
6. Prasasti Padelegan
Prasasti Padelegan dibuat oleh Raja Kameshwara guna mengenang rasa bakti masyarakat Padelegan pada raja.
7. Prasasti Panumbangan
Prasasti Panumbangan berisi mengenai pemberian anugerah raja untuk masyarakat Panumbangan sebab sudah mengabdi pada rakyat.
8. Prasasti Talan
Prasasti Talan berisi mengenai diberikannya hak istimewa oleh raja pada masyarakat Desa Talan lewat cara membebaskan rakyat dari pajak.
9. Prasasti Ceker
Prasasti Ceker berisi mengenai anugerah raja yang diberikan pada masyarakat Desa Ceker sebab sudah mengabdi untuk kemajuan Kediri.
Baca juga: Sejarah Dan Peninggalan Kerajaan Demak