Pernah mendengar tentang novel berjudul Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck karya Buya Hamka? Atau film yang berjudul sama? Bagi yang sudah membaca, atau menonton filmnya pasti sudah mengetahui jalan cerita novel dan film tersebut yang berkisah tentang kisah cinta antara Hayati dan juga Zainudin.
Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah salah satu novel legendaris karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Novel yang pertama kalinya terbit pada tahun 1939 ini menceritakan mengenai persoalan adat yang berlaku di Minangkabau serta perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih sampai berakhir dengan kematian. Hingga sekarang ini novelnya juga selalu mengalami proses cetak ulang serta pernah menjadi bacaan wajib untuk pelajar Indonesia.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini bermula dari sebuah cerita bersambung yang dimuat dalam suatu surat kabar, tetapi karena banyak masyarakat Indonesia yang suka pada cerita itu sampai menjadi fenomena dikala itu, Hamka mengambil keputusan untuk mengangkatnya menjadi sebuah novel. Banyak kritikus serta sastrawan pada saat itu mengatakan kalau Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini adalah karya terbaik serta masterpiece dari Buya Hamka.
Keberhasilan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini ternyata memperoleh cobaan, Novel masterpiece Buya Hamka ini dituduh sebagai plagiat dari Novel luar negeri berjudul Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr. Tetapi kabar itu segera hilang serta dibantah oleh Hamka. Para kritikus serta sastrawan dunia juga turut membela kalau tak ada kesamaan yang banyak serta mencolok pada Novel Hamka itu dengan Novel Jean-Baptiste dan mengatakan kalau Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki tema yang murni dari Indonesia.
Hamka menulis novel itu berdasar pada kisah nyata mengenai kapal Van Der Wijck yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, serta tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936. Peristiwa itu lalu diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck yang dibangun pada tahun 1936 di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda pada para nelayan yang sudah banyak membantu ketika kapal itu tenggelam. Serta Hamka mengabadikannya dalam sebuah novel.
Meskipun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi, cerita yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi belaka. Seperti umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian nyata, Hamka juga mengolah tragedi yang memilukan itu dalam cerita fiksi yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembacanya mempunyai pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, serta Aziz) seakan pribadi-pribadi yang benar-benar hidup serta mewakili potret kaum muda pada saat itu ketika mereka bertemu dengan arus perubahan sementara kakinya berdasar pada adat serta tradisi.
Kepiawaian Hamka dalam mengemukakan kritiknya atas tradisi bisa jadi melanjutkan kesuksesan pendahulunya Marah Rusli dalam roman Siti Nurbaya yang melegenda itu. Keduanya juga sama-sama berkisah mengenai adat serta kawin paksa. Serta keduanya berujung kematian tokoh-tokoh utamanya. Bedanya, Siti Nurbaya menyebabkan dampak yang sangat kuat serta melewati jaman karena ide ceritanya itu sendiri, sementara Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck melahirkan guncangan keras karena kontroversi yang mengikuti ide cerita. Siti Nurbaya yaitu kisah cinta di atas panggung tradisi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga kisah cinta yang sama tetapi sekaligus kisah mengenai kesusastraan di pentas pertarungan politik. Belum pernah ada perdebatan yang demikian keras mengenai satu novel melebihi karya Hamka ini. Novel ini dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti (sastrawan Mesir), yang merupakan saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya Alphonse Karr (sastrawan Prancis).
Seperti novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga bercerita mengenai cinta yang tidak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin, yaitu anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena membunuh mamaknya dalam suatu perselisihan harta warisan. Sesudah bebas ia pergi ke Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan inilah lahir Zainuddin. Sesudah orangtuanya wafat, Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang disebut kampung halaman ayahnya. Sayangnya, di sana ia tak diperlakukan dengan baik karena dianggap bukanlah anak Minang. Maklum meskipun ayahnya seorang Minang, ibunya orang Bugis sehingga putuslah pertalian darah menurut garis matrilinear yang bernasabkan pada ibu.
Meskipun demikian, Zainuddin menjalin cinta dengan Hayati, gadis Minang yang prihatin pada nasibnya serta sering mencurahkan kesedihan hatinya pada Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, sudah pasti keluarga Hayati mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukanlah orang Minang serta tak jelas juga masa depannya. Keluarga Hayati memilih Aziz yang asli Minang serta datang dari keluarga terpandang. Hayati harus tunduk pada kesepakatan keluarga, meskipun hatinya condong pada Zainuddin.
Zainuddin menganggap Hayati sudah berkhianat. Pada akhirnya dengan membawa perasaan luka, ia pergi ke Jakarta, lalu pindah ke Surabaya. Sementara itu Hayati serta Aziz yang sudah menikah juga pergi ke Surabaya serta tinggal di sini karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu acara keduanya berjumpa dengan Zainuddin yang sudah menjadi orang berhasil. Sedangkan kehidupan ekonomi Aziz serta Hayati semakin lama makin memburuk. Aziz jatuh miskin, sampai ia serta istrinya harus menumpang di rumah Zainuddin. Tidak tahan menahan penderitaan, Aziz pada akhirnya bunuh diri dan terlebih dulu meninggalkan pesan agar Zainuddin melindungi Hayati.
Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan. Bahkan juga ia meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh, meskipun wanita itu merajuknya.
Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Tetapi nasib malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa. Zainuddin yang mendengar berita itu segera menuju rumah sakit di Tuban. Sayang nyawa Hayati tidak bisa diselamatkan. Sejak peristiwa itu Zainuddin sering mengalami sakit hingga pada akhirnya meninggal dan dimakamkan di samping pusara Hayati.
Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk menyampaikan pesan kalau cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang sering dikorbankan untuk martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis sebagai kritik terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang ketika itu yang tidak sesuai dengan beberapa dasar Islam maupun akal budi yang sehat. Penulisnya sangat berwenang melakukan itu karena ia hidup dalam kumparan masa itu. Sehingga ia tidak hanya merekam sejarah, tetapi juga sang pelaku yang fasih dengan kultur masyarakat Minang serta perubahannya pada jaman itu.
Mulai sejak awal novel ini diterbitkan berpindah dari satu penerbit ke penerbit lain. Awal mula penerbit swasta, lalu mulai tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Selanjutnya pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Sampai tahun 1962 novel ini sudah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Kemudian penerbitannya diambilalih oleh Bulan Bintang. Bukan hanya di Indonesia, Van Der Wijck juga beberapa kali dicetak di Malaysia.
Sekitar tahun 2008-2009an berhembus kabar kalau Novel Best Seller itu akan diangkat menjadi sebuah film. Lalu, beberapa penikmat Novel ini ketakutan akan hasil eksekusinya mengingat film yang mengadaptasi dari Novel Hamka yang lain kecewa dengan hasilnya.
Dan sekitaran tahun 2012 lalu pada akhirnya Rumah Produksi Soraya Intercine Films secara resmi menginformasikan kalau mereka akan mengangkat Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ke layar lebar bioskop. Rupanya pihak Soraya Intercine Films telah mengincar serta menyiapkan dengan matang Novel itu untuk diangkat ke layar lebar dari 8 tahun yang lalu.
Pada akhir tahun 2012, Soraya Intercine Films melalui website serta akun twitter resminya mengeluarkan suatu teaser poster untuk Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta langsung menjadi perbincangan hangat di sosial media.
Kisah Nyata Di Balik Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”
Namun tahukah Anda kalau cerita tenggelamnya kapal Van Der Wijck berasal dari kisah nyata?
SS Van Der Wijck adalah kapal pengangkut penumpang serta barang yang memakai tenaga uap. Kapal ini dibuat pada tahun 1921. Perusahaan pembuat badan serta mesin kapal merupakan Perusahaan Fijenoord (Maatschappij Fijenoord N. V Feyenord Rotterdam). Lalu kapal ini dimiliki oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). KPM sendiri adalah perusahaan yang di kemudian hari menjadi cikal bakal Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). Kapal ini memperoleh nama panggilan “de meeuw” atau “The Seagull” karena figur kapal ini sangat anggun serta tenang.
Ketika pelayaran terakhirnya, Van Der Wijck tengah menempuh rute dari Bali ke Semarang. Dalam perjalanannya itu, Van Der Wijck akan terlebih dulu ke Surabaya. Selepas berlabuh sesaat di Surabaya inilah kapal ini mengalami beberapa masalah, yang menyebabkan pada tenggelamnya kapal itu. Peristiwa tenggelamnya kapal itu terjadi pada 20 Oktober 1936.
Hocking dalam bukunya Dictionary of Disaster at Sea during the Age of Steam mengatakan bila “The Dutch steamship Van Der Wijck, on passage Surabaya to Tandjung Priok, capsized and sank in heavy weather near Tandjong Pakis, between Surabaya and Semarang.” Lokasi ini bila menilik pada letak monumen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, maka diidentifikasikan di Perairan Lamongan sekarang. Tepatnya di kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur.
Jumlah penumpang ketika itu yaitu 187 warga pribumi serta 39 warga Eropa. Jumlah awak kapalnya terdiri dari seorang kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal serta 80 ABK dari pribumi. Sementara jumlah korban dari tenggelamnya kapal ini menurut wikipedia yaitu 4 orang meninggal serta 49 hilang. Sementara koran de Telegraaf tanggal 22 Oktober 1936 mengatakan bila 42 korban hilang. Simpang siurnya data ini akibat banyak penumpang yang tidak terdaftar dalam manifes kapal. Salah satu kemungkinannya yaitu kuli angkut pribumi yang ada di kapal.
Peristiwa ini yang lalu diambil menjadi judul serta setting dari Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Haji Abduk Malik Karim Amrullah atau yang dikenal sebagai Hamka. Novel ini sendiri baru dipublikasikan tahun 1938 atau 2 tahun pasca peristiwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang sesungguhnya.
Itulah kisah di balik novel karya Buya Hamka yang sudah dibuat menjadi film. Ternyata bukan hanya novelnya saja yang menarik, namun kisah sebenarnya di balik novel itu juga menarik.
Baca juga: Sejarah dan Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai