Seruni.id – Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Meski demikian, ternyata ada beberapa jenis pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam, loh. Apa saja jenisnya?
Banyak dari kita yang mungkin sudah tahu, bahwa pernikahan merupakan ibadah terpanjang dan sebagai penyempurna separuh agama. Dengan pernikahan pula seseorang akan terhindar dari yang namanya zina, memelihara kehormatan kaum perempuan, serta untuk memperbanyak keturunan shalih dan shalihah. Namun, di dalam syariat Islam, terdapat enam jenis pernikahan yang dilarang. Berikut ulasannya:
1. Pernikahan Syigar
Pernikahan syigar adalah salah satu pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam. Yakni di mana seorang laki-laki menyerahkan anak atau saudara perempuannya untuk dinikahi oleh lelaki lain. Namun, dengan syarat lelaki tersebut juga menyerahkan anak atau saudara perempuannya untuk ia nikahi, baik dengan mahar maupun tidak.
Praktik ini hukumnya haram dalam Islam. Sebab, adanya syarat pertukaran membuat pernikahan tersebut batal. Dengan melakukan pernikahan syigar, ini akan bisa memicu bahaya besar, karena hal ini cenderung memaksa pihak perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tak ia sukai demi kepentingan wali.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa salam melarang adanya pernikahan ini. Pernikahan ini dapat terjadi apabila seseorang mengucapkan,
“Nikahilah anak perempuanmu denganku dan akan kunikahkan anak perempuanku denganmu,” atau “Nikahkah saudara perempuanmu denganku, maka akau akan menikahkan saudara perempuanku denganmu.”
Rasulullah bersabda, “Tidak ada nikah syigar dalam Islam.” (HR. Muslim).
Pernikahan jenis ini telah menetapkan syarat tertentu dalam pernikahan tidak sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
“Barangsiapa mensyaratkan sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, maka syarat-syarat tersebut batal. Meski ia menetapkan seratus syarat, hanya syarat yang ditetapkan Allah yang paling layak dipercaya dijalankan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pernikahan Mut’ah
Pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam berikutnya yakni nikah mut’ah, di mana dalam pernikahan tersebut terdapat batas waktu yang ditentukan. Bisa dibilang mut’ah merupakan nikah kontrak. Para ulama telah sepakat bahwa jenis pernikahan ini dilarang dalam Islam, haram alias tidak sah jika telah terjadi.
Sebelum pernikahan jenis ini diharamkan, Rasulullah menghalalkan nikah mut’ah. Akan tetapi, hal tersebut kemudian diharamkan selamanya hingga hari kiamat tiba. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi. Sabrah al Juhani meriwayatkan hadist berikut, membahas tentang nikah mut’ah,
“Ketika kami memasuki kota Mekah dalam peristiwa fat-hu-Makkah, Rasulullah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah. Dan sebelum kami keluar dari Mekah, beliau sudah melarang kamu melakukannya.” (HR. Muslim).
3. Pernikahan Muhallil
Pernikahan yang berikut ini haram hukumnya dan termasuk ke dalam dosa yang besar. Adapun yang dimaksud dengan nikah muhallil adalah, jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga selesai mada iddahnya, kemudian ia menceraikannya agar perempuan tersebut bisa dinikahi kembali oleh suami pertamnya, maka itulah yang disebut sebagai nikah mihallil.
Sebaiknya, hindarilah praktik pernikahan ini. Sebab, jika tidak, pelakunya akan dilaknat oleh Allah SWT. Demikian pula dengan suami pertamanya yang meminta orang lain menikhai istrinya dengan cara muhallil. Hal ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibunu Mas’ud,
“Rasulullah melaknat orang yang menlakukan nikah muhallil serta suami yang menyuruh orang itu melakukan nikah muhallil.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Bahkan, bagi mereka yang berani melakukan pernikahan jenis ini, maka akan mendapatkan hukuman berupa rajam. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Umar Ibnul Khaththab,
“Jika aku bertemu dengan orang-orang yang melakukan nikah muhallil serta suami yang menyuruh orang itu melakukan nikah muhallil, maka pasti kurajam keduanya.” (HR. Abdurrazzaq dan Sa’id ibnu Manshur).
4. Pernikahan dalam Masa Iddah
Masa iddah merupakan waktu bagi seorang wanita menunggu atau menahan diri, untuk tidak menikah dengan laki-laki lain, setelah diceraikan oleh suaminya. Baik diceraikan ketika masih hidup, pun cerai karena meninggal dunia. Apabila wanita tersebut menikah sebelum selesai masa iddah, maka pernikahan tersebut dianggap batal.
Di samping itu, tidak ada warisan di antara keduanya dan tidak ada kewajiban memberikan nafkah serta mahar bagi wanita tersebut. Hal ini berdasarkan fiman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya.” (Al-Baqarah: 235).
5. Pernikahan Beda Agama
Pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam berikutnya adalah pernikahan beda agama. Hal ini sebagaimana yang telah Allah Ta’ala firmankan berikut ini,
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan jangnalh kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surgadan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221).
6. Pernikahan Urfi’
Pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam ini, mungkin sering kali terjadi di kalangan anak muda. Di mana mereka menjalin hubungan dengan seseorang tanpa ada orang lain yang mengetahui. Hingga akhirnya mereka melangsungkan akad pernikahan secara diam-diam demi menghalalkan suatu hubungan.
Ketika itu, mungkin hanya mereka berdua dan teman-temannya saja yang emnjadi saksi. Akad nikah seperti ini hanya berupa perjanjian di atas kertas. Setelah itu, keduanya pulang ke rumah orangtuanya seperti tak terjadi apa-apa. Praktik pernikahan urfi’ hukumnya tidaklah sah. Bahkan, ini termasuk ke dalam zina, karena sudah jelas tidak memenuhi syarat penting pernikahan, yaitu adanya wali dari pihak perempuan. Al-Qur’an dan sunnah sudah beberapa kali mengingatkan bahwa dalam pernikahan harus ada wali.
“…Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum merek beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu…” (Qs. Al-Baqarah:221).
Rasulullah bersabda, “Tidak sah pernikahan yang dilangsungkan tanpa wali.” (HR.Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Beliau juga bersabda,
“Setiap perempuan yang menikah tanpa izin wali-walinya maka pernikahan itu batal.” Rasulullah mengungkapkan ucapan itu tiga kali. ‘Dan perempuan tersebut berhak memperoleh maharnya. Jika para wali itu berselisih, maka penguasa adalah wali bagi siapa pun yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Baca Juga: 6 Cara Jitu Mengatasi Stres Menjelang Pernikahan
Wallahu a’lam.