AKU dengar suara tepuk tangan. Mungkin itu untuk akhir yang tragis sebuah cerita jenaka. Lalu orang-orang dengan mantel dan syal keluar bergandengan tangan atau berangkulan. Sepertinya tadi, sudah terjawab duga, juga sudah terbagi duka.
Aku berlalu, dengan ingatan dari poster pertunjukan. “Ada teater lain lagi, di jalanku yang lain lagi,” kata Paris. Paris? Bayang-bayangku sama-saja. Tak bisa lebih panjang dari arah cahaya datang. Dan untukku, cahaya bertepuk tangan dengan caranya sendiri.
(Sumber)