Annette Bellaoui, perempuan berkebangsaan Denmark yang lahir dari keluarga ateis ini, tidak pernah bermimpi dan berpikir dirinya akan mengikuti jejak Rasulullah, Muhammad, memeluk Islam. Alhamdulillah, pada akhirnya ia mengakui eksistensi Tuhan, mengucapkan dua kalimat shahadat dan memutuskan mengenakan jilbab.
Kepada para anti-Islam, pembenci Islam atau mereka yang belum mengenal Islam dengan baik, Bellaoui berbagi cerita. Perempuan 58 tahun ini, menggambarkan kuatnya ateisme dalam keluarga besarnya, lebih dari ‘ateis Taliban’.
Bellaoui adalah perempuan berusia 58 tahun yang masuk Islam hampir dua dekade yang lalu, sambil tersenyum dan meringis saat menceritakan kisah ini. Dia sepenuh hati menyadari bahwa reaksi terhadap kemungkinan kejadian Islamofobia sangat mungkin terjadi, terutama bagi seorang perempuan yang mengenakan jilbab.
“Saya sering membandingkannya dengan sepatu, Anda tahu ketika Anda memiliki sepatu yang kekecilan, Anda tetap dapat memakainya dan berjalan-jalan dengannya, tetapi ternyata ada banyak hal yang terus-menerus mengganggu dengan sepatu itu,” jelasnya.
Sebagai seorang anak, keluarganya sangat kuat dalam ke-ateis-annya. Hal tersebut mengganggu hati dan pikirannya. Oleh karena itu dia mulai mencari rasa baru yang dapat menenangkan dirinya. Akhirnya dia meneemukannya dalam Islam. Saat memeluk Islam, Annette Bellaoui memilih nama Fatima Zahra sebagai nama Islamnya.
Awal dirinya mengenal Islam ketika jumlah pengungsi yang datang ke Denmark meningkat. Kondisi itu membuatnya diri berinteraksi dengan para pekerja Muslim ketika berprofesi sebagai koki. Kendati demikian. Namun saat itu, Annette belum mendapatkan hidayah. Hidayah itu datang saat dia pindah ke Maroko.
Bellaoui terbiasa bangun pagi, begitu juga setelah ia tinggal di Maroko, dia tetap bangun pagi. Udara pagi membuat dirinya merasakan kehangatan yang luar biasa.
“Saya masih ingat, wanginya seperti roti sabit yang baru dipanggang, dan bumi baru menghangat karena saya melihat secercah sinar matahari terbit,” kata dia.
Saat fajar di hari pertama menginjakkan kaki di Maroko, dia mendengar azan subuh untuk pertama kalinya. Panggilan shalat, azan Subuh bergema dari masjid sekitar 100 meter dari tempatnya tinggal.
“Pada saat itu, saya berbicara pada diri sendiri, suatu hari saya akan menjadi Muslim,” ujar Bellaoui.
Butuh waktu tiga tahun sejak saat itu untuk dia benar-benar memeluk Islam. Dia bersumpah memenuhi panggilan Allah hingga akhir hayat. Banyak pengalaman yang dihadapi Bellaoui setelah memeluk Islam. Terutama dengan mereka yang terjangkit islamofobia, anti-Islam.
Annette Bellaoui menceritakan bahwa dirinya ingat sekali saat bertemu dengan seorang politisi terkemuka di Partai Rakyat Denmark, yang dikenal dengan ucapan-ucapannya yang anti-Muslim. Bellaoui menatapnya, dan serius merenungkan kata-kata politisi itu.
“Ada ketakutan dan kemarahan dan segala sesuatu di wajahnya. Dan, tahukah anda apa yang saya lakukan? saya tersenyum padanya, senyuman termanis saya. Dan kemudian dia meniupkan ciuman ke arah saya,” kenangnya.
Bellaoui menyadari reaksi islamofobia karena tindakannya yang tidak biasa di kalangan masyarakat Denmark 20 tahun lalu. Apalagi, dia seorang Muslimah dan berhijab serta memakai nama Islam, Fatima Zahra. Namun, reaksi tersebut tidak membuatnya gentar, hingga kini.
Pertentangan dan respon negatif juga dia dapatkan dari keluarganya yang Ateis. Menghadapi hal itu, Bellaoui tetap gigih berjuang mempertahankan kepercayaannya terhadap Islam. Dia tidak pernah menyerah memegang akidah barunya. Dia sangat menyadari hidup di lingkungan semacam itu tidaklah mudah. Keputusannya memeluk Islam pasti menuai respon negatif dari keluarga.
Setelah memeluk Islam dan menutup auratnya dengan Jilbab, dia mengalami penolakan dari keluarganya akibat identitas baru, yaitu Muslimah! Sang ibu paham betul karakter anak tersebut. Jika sudah berkeinginan, dia akan mengabaikan pendapat siapapun. Tetapi, hingga 20 tahun berlalu, ibunya masih saja belum memahaminya. Ibunya masih selalu bertanya alasan dia menutup rambut dan saudara laki-lakinya selalu menggodanya dengan menggunakan jilbab juga.
Keluarganya tidak mengerti kenapa Bellaoui menjadi Muslimah. Mereka mengatakan bahwa Bellaoui telah mengkhianati Denmark dengan budayanya yang bebas. Dia dianggap bodoh karena tidak patuh dan bertahan dengan budaya yang telah mengakar. Orang lain juga berpendapat sama seperti politisi Denmark, yang hanya berasumsi bahwa Muslimah berjilbab atau Muslim pasti merupakan seorang teroris.
Tidak hanya dari keluarga, politisi dan lingkungan sekitar, bahkan dia juga harus menghadapi keraguan dari sesama Muslim melihat latar belakang etnisnya. Bellaoui dianggap hanya berpura-pura memeluk Islam karena tidak lahir dari keluarga Muslim atau etnis yang mayoritas beragama Islam.
Akan tetapi, dia tidak merasa terganggu sama sekali dengan reaksi lingkungan di sekitarnya akibat pilihannya untuk memeluk Islam. Dia menghadapi tekanan-tekanan tersebut dengan berusaha mengubah pandangan orang banyak terhadap umat Islam dengan humor dan tersenyum dibandingkan memusuhi, ketakutan, membalas dengan hal-hal negatif.
Dia selalu mendapatkan pertanyaan ‘dari mana asalmu’, karena menggunakan jilbab. Ketika dia menjawab orang Denmark, mereka kembali bertanya mengapa mengenakan jilbab? Baginya, jilbab adalah sebuah identitas sebagai Muslimah. Dia tidak akan meninggalkannya meski harus menghadapi situasi yang tidak nyaman.
Banyak orang yang mengira bahwa menjadi orang Denmark tidak mungkin menjadi Muslim. Namun, dia berkeyakinan dengan identitas Denmark-nya, Bellaoui percaya dia dapat melakukan apa pun yang diinginkan. Menjadi Muslim dengan identitas etnis Denmark lebih memudahkannya berdakwah mengenalkan Islam. Karena, mereka yang ingin mengetahui Islam tidak khawatir atau takut bertanya karena kesamaan etnis mereka.
Cara dan media yang Bellaoui gunakan untuk menjelaskan Islam sangat menarik dan menghibur. Bellaoui memilih memperkenalkan dan menjelaskan Islam melalui karya dan pekerjaannya, yaitu lewat jalur musik. Missing Voices, grup yang Bellaoui dirikan bersama sejumlah seniman Muslimah. Hal ini dilakukan untuk membuktikan persepsi yang salah tentang budaya yang sering diremehkan oleh Barat tentang kekuatan Muslimah. Di samping itu pula, pendekatan sebagai bagian dari Etnis Dane dia tempuh sebagai modal memperkenalkan Islam kepada non-Muslim.