Seruni.id – Puisi adalah karya sastra yang dihasilkan oleh seseorang. Biasanya karya tersebut diciptakan dari ekspresi perasaan seseorang, kemudian dituangkan dalam bentuk-kata. Salah satu yang paling terkenal di Indonesia adalah puisi Chairil Anwar.
Chairil Anwar adalah seorang penyair tersohoh di bumi Nusantara ini. Pria yang lahir di Medan, 26 Juli 1922 ini, telah menciptakan puluhan puisi Chairil Anwar dan mendapatkan apresiasi dari para pembacanya. Hingga ia dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang”.
Chairil Anwar menekuni dunia sastra, hingga terciptanya 96 karya, termasuk 70 puisi. Puisi pertamanya dipublikasikan pada tahun 1942, dua tahun setelah ia pindah dari Medan ke Jakarta. Meski tidak banyak yang dapat dikulik dari kisah hidupnya yang sangat singkat. Akan tetapi, setiap penggemarnya tahu bahwa ia sangat mengagumi sosok Sri Ayati yang ia cintai. Bahkan, ia kerap menuliskan isi hatinya melalui puisi untuk Sri Ayati (Senja di Pelabuhan Kecil).
Tapi sayang, belum sempat ia mengutarakan isi hatinya, Sri Ayati telah lebih dulu menikah dengan orang lain. Kemudian, ia pun menikahi wanita bernama Hapsah, namun pernikahan tersebut tidak bertahan lama dan berujung dengan perceraian. Selain itu, dalam beberapa karyanya juga disebut beberapa nama perempuan seperti Nyonya N, buat K, Ina Mia, Gadis Rasid dan yang lainnya. Mereka adalah perempuan yang juga pernah singgah di hati seorang Chairil Anwar.
Gaya hidupnya terkadang semaunya dan tidak terlalu mempedulikan orang. Sampai akhirnya ia merasa kesusahan, terutama masalah ekonomi. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ia berpisah dengan Hapsah. Hidupnya tidak teratur dan berantakan hingga di masa mudanya ia terserang berbagai penyakit terutama TBC dan komplikasi. Tak lama kemudian ia pun meninggal dunia pada 28 April 1949 dan kepergiannya disaksikan oleh banyak sahabat sastrawan.
Ketajaman berpikir dan kedalaman makna dari setiap karyanya membuatnya banyak dikagumi oleh orang. Namun, tak sedikit puisi Chairil Anwar yang tidak dipublikasikan hingga kematiaannya. Puisi terakhirnya berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, sedangkan yang paling terkenal adalah puisi Aku dan Krawang-Bekasi. Berikut ini Seruni akan menampilkan beberapa puisi karya Chairil Anwar yang hingga kini masih banyak penikmatnya.
Puisi Karya Chairil Anwar
1. Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
2. Aku Berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Ku dengar seru menderu
Dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?
Lagi lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah..!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak ku kenal..!!!
Selamat tinggal…!!
3. Cinta dan Benci
Aku tidak pernah mengerti
Banyak orang menghembuskan cinta dan benci
Dalam satu napas
Tapi sekarang aku tahu
Bahwa cinta dan benci adalah saudara
Yang membodohi kita, memisahkan kita
Sekarang aku tahu bahwa
Cinta harus siap merasakan sakit
Cinta harus siap untuk kehilangan
Cinta harus siap untuk terluka
Cinta harus siap untuk membenci
Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita
Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan
Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta
Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta
Cinta tidak berasal dari hati
Tapi cinta berasal dari jiwa
Dari zat dasar manusia
Ya, aku senang telah mencintai
Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup
Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku
4. Cerita Buat Dien Tamaela
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa, pohon pala,
Badan perawan jadi hidup sampai pagi tiba
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
5. Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut tenang, tapi terasa
aku tidak akan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau kumati, dia mati iseng sendiri
6. Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
7. Di Mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka
Seterusnya Ia Bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila
8. Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
9. Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
10. Hampa
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
11. Kawanku dan Aku
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti
12. Kepada Kawan
Sebelum ajal mendekat dan menghianat
Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat
Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa
Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada
Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam
Layar merah berkibar hilang dalam kelam
Kawan, mari kita putuskan kini di sini
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju
Jangan tembatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat
Tidak minta ampun atas segala dosa
Tidak memberi pamit siapa saja
Jadi
Mari kita putuskan sekali lagi
Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi
Sekali lagi kawan, sebaris lagi
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu…!!
13. Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan ati 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenang lah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenang lah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
14. Kepada Peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
15. Lagu Siul
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka
16. Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana
17. Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
18. Nisan
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
19. Orang Berdua
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
20. Pelarian
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!”
Tak kuasa — terengkam
Ia dicengkam malam
21. Puisi Kehidupan
Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku
Hmm… Masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana
Ya Allah, ijikanlah
22. Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
23. Rumahku
Rumahku dari unggun timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senja kala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi
Tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
24. Sajak Buat Basuki Rebowo
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! – coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri! – aku terus gelandangan
25. Sajak Putih
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi
Malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
26. Selamat Tinggal
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
Dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?
Lagi lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah..!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal..!!!
Selamat tinggal…!!
27. Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satunya!”
Ibuku tertidur dalam tersendu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
28. Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah, Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
29. Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali
Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan
Tidak bergerak, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
30. Tuti Artic
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca
cola
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal
terasa
– ketika kita bersepeda kuantar kau pulang –
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali
bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi… Hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar
31. Taman
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lembut dipijak kaki
Bagi kita bukan halangan
Karena dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
32. Yang terampas dan Yang Terputus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Baca Juga: 25 Contoh Kumpulan Puisi Sedih Menguras Air Mata
Meski usianya memang tidak lama, namun keinginannya untuk tetap hidup seribu tahun lagi sepertinya akan terlaksana, melalui karya-karyanya yang abadi hingga kini dan mungkin seribu tahun lagi. Selamat membaca puisi Chairil Anwar di atas.