/1/
“Buah yang paling nikmat adalah buat tomat,
buah yang paling sehat adalah buah tomat.”
Tanpa seru debat, tanpa bertegang urat,
petani itu menyusun semacam postulat.
/2/
Dia memang petani tomat, petani yang cermat.
Kepada cuaca dia bersahabat, sehingga tak perlu
menebak-nebak kapan saat yang tepat untuk
menyemai benih yang sehat dan menyiapkan NPK,
serta tongkat untuk menyangga tangkai-tangkai
yang tumbuh bagai merambat-rambat.
Dia memang petani tomat, petani yang cermat.
“Nyanyian hujan dan aroma tanah
memberi semacam firasat,
semacam isyarat yang tak tercatat:
kapan harus menanam tomat,” ujarnya
seperti telah menangkap sebuah makrifat.
/3/
Menjadi petani, itu kebahagiaannya dua kali lipat,
Pertama, saat pertumbuhan tanaman mulai terlihat
Kedua, ketika panen datang pada waktu yang tepat.
“Ada kenikmatan ketiga,” ujarnya. Tapi biarlah itu menjadi
rahasia yang rapat, sebelum ditemukan kata yang akurat
untuk menyebutkannya dalam kalimat yang hebat.
/4/
Di akhir pekan, setelah panen tomat,
dia suka membawa berkeranjang-keranjang
buah tomat yang jingganya mengkilat-kilat.
Dia setir sendiri truk pikapnya sambil menyiulkan
sebait lagu Ebiet yang liriknya suka ia plesetkan,
“….aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani tomat.”
Memang, antara cita-cita yang cuma hasrat,
dan hidupnya yang kini tersurat, suka ada
logika sendiri: alur nasib yang bikin terperanjat.
/5/
Kadang-kadang dia suka tersesat,
sampai ke kampus tempat dia dulu
menjadi mahasiswa yang taat,
rajin kuliah dan belajar hikayat tomat.
“Halo, Petani Tomat?” kata Dosen Pembimbingnya
yang dulu mengajarnya cara mengenali tomat.
“Habis panen ya, Sobat?” kata Teman Kuliahnya
yang kini jadi dosen dan membimbing mahasiswa
meneliti rahasia menanam dan merawat tomat.
Sambil senyum-senyum dia bagi-bagikan tomat panenannya.
Ternyata, mereka semua masih jadi penggemar tomat.
“Ayo bikin sambel, buat colekan pecellele. Pasti lezat…”
“Atau bikin jus. Supaya sariawan tidak kumat…”
Sambil senyum-senyum dia berbisik sendiri:
“Kasihan, mereka belum juga sadar,