ibu menuliskan cinta pada pensilnya yang pertama
“tulislah namamu juga, nak,” kata ibu berpesan
setelah meruncingkan ujung mata itu, lalu menyimpan
pada tas bertali panjang tersandang di kecil pundaknya.
sejak itu dia berusaha mengingat bentuk jenaka
yang dia yakini adalah lambang dari bunyi namanya,
huruf yang dia ukir di batang pensil pertamanya,
ada bebek, kursi, & burung, berbaris mengucap kata.
setiap hari, dia ingin sekali mengucapkan terima kasih,
atau bilang: Ibu, aku sangat mencintaimu, tapi, selalu
saja dia merasa, Ibunya — yang selalu memeriksa apakah
pensilnya patah, dan segera meruncingkannya lagi —
pantas menerima lebih banyak daripada sekadar itu.
(sumber)