Seruni.id – Mathieu Garvi adalah seorang manajer pemasaran digital di Dubai, Uni Emirat Arab. Pria berusia 28 tahun ini terlahir sebagai seorang penganut Katolik yang mendapatkan pendidikan agama dari sang Ibu.
“Saya pergi ke sekolah akhir pekan selama bertahun-tahun,” jelas dia.
Seiring bertambahnya usia, membuat dia semakin jarang beribadah ke gereja, meskipun ia masih meyakini agamanya itu. Di akhir masa remaja, gaya hidup Garvi berubah, dia menjadi lebih bebas, bahkan tiap akhir pekan ia selalu meyarakan pesta, dimana pun itu.
Namun, ketika memasuki usia 20 tahun, dia justru merasakan kehampaan dalam hidupnya. Dia menyadari bahwa betapa kerasnya menjalani gaya hidup ini. “Selalu ada semacam kekosongan di hati saya. Pada saat yang sama saya mulai kuliah di Prancis dan telah berteman dengan mahasiswa Maroko yang kebetulan Muslim,” jelasnya.
Garvi melihat temannya itu berbeda dari Muslim yang lain yang pernah ia temui. Teman Muslimnya ini, tidak pernah meninggalkan salat lima waktu, dan tidak pernah mabuk-mabukkan.
Melihat sikap temannya yang sangat religius, membuat hati Garvi tegugah. Suatu ketika, dia dan teman Muslimnya sedang bermain video game. Dan, pada saat waktu salat telah tiba, temannya berhenti bermain. Garvi merasa sangat kagum dengan temannya itu.
Setelah mengenal teman Muslimnya shaleh menjalankan agama, membuat Garvi berusaha memperdalam agamanya yang lalu. Namun, ketika dia mulai membaca Alkitab, ia justru tidak menemukan jawaban apapun, ia malah menemukan banyak ketidaklogisan.
“Ini membuat dia mempertanyakan hidup saya mungkinkah itu jawabannya? Saya mulai berhubungan kembali dengan agama Kristen dan mulai membaca Alkitab, tapi hanya menemukan banyak ketidaklogisan,” jelasnya.
Dia mulai menuliskan semua pertanyaan ketika membaca Alkitab, kemudian setelah berbulan-bulan melakukan penelitian, dia memutuskan pergi ke gereka lokal untuk mendapatkan jawaban dari seorang imam. Sebagian besar jawabannya hanya sebuah penolakan dan merasa tidak nyaman saat dihdapkan pada Alkitab dan tidak dapat menyangkalnya.
Akhirnya, ia mencoba untuk membaca Alquran. Awalnnya memang ia berprasangka buruk terhdap Islam. Sebab, sebagian besar Muslim yang dia temui di masa lalu memiliki perilaku yang lebih buruk. Setelah menelusuri dan menemukan kebenaran dalam Alquran, ia merasa kagum, dan memutuskan untuk memeluk Islam.
Setelah menjadi mualaf, dia kembali ke Prancis untuk kembali melanjutkan kuliahnya. Sebelumnya, dia hanya seorang lulusan Diploma di SMA Hilton. Kemudian dia baru melanjutkan sarjana di ISC Paris hingga tahun 2015. Seperti mualaf pada umumnya, hari-harinya ia lalui dengan rasa kesepian. Karena dia tidak memiliki teman ataupun keluarga untuk bisa beribadah bersama tak terkecuali ketika Ramadhan tiba.
Tahun 2011 merupakan Ramadhan pertama. Berat baginya menjalani ibadah pada bulan suci di Prancis. “Awalnya sedikit kesepian untuk jujur. Itu agak sulit karena keluarga saya tidak merayakan dan jadi saya sendiri pada saat itu,” kata Garvi.
Selain tidak memiliki dukungan keluarga dan teman, waktu berpuasa di Prancis pun lebih lama dibandingkan negara lain. Di negara asalnya pun dia tidak memiliki teman untuk berbagi pengalaman atau sekadar berbagi pengetahuan tentang berpuasa dan ibadah apa saja yang dapat dilakukan selama Ramadhan.
Hal tersebut tidak membuat Garvi menyesali keputusannya, ia tetap berkomitmen untuk berpuasa dan bekerja seperti biasa. Sebenarnya, dia berharap ada orang lain yang memliki pengalaman yang sama, sehingga hari-hari yang ia lalui tidak terasa berat.
Berpuasa bagi Garvi bukan sekadar masalah makanan dan perayaan tahunan. Tetapi lebih dalam, ini merupakan pengalaman spiritual se tiap muslim untuk lebih dekat dengan Allah. Ketika merasa sendiri, dia optimis dapat melaluinya dengan Allah. Tak ada keraguan sedikitpun setelah dia yakin untuk memeluk Islam.
Pria berkacamata dan berjenggot tebal ini meyakini bahwa Allah akan membantunya ketika masalah dan ujian datang. Dia mengakhiri Ramadhan dan menghabiskan Idul Fitri pertamanya dengan keluarga Maroko Muslim di Prancis. Dia mengatakan keluarga ini berbagi kisah mengenai Idul Fitri yang selalu dirayakan. Mereka juga menceritakan suasana Idul Fitri saat berada di negara Muslim.
Di tahun 2013 Garvi pernah mengikuti pertukaran mahasiswa di Univeritas Internasional Mesir untuk mempelajari bahasa arab dan administrasi bisnis. Disana dia pun memiliki pengalaman berpuasa di negara mayoritas Muslim. Selama setahun dia berada di negara piramida. Kemudian dia kembali ke Prancis untuk meneruskan kuliah masternya. Setelah lulus, dia pun be kerja di beberapa perusahaan di Prancis.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
“Hanya Islam yang Dapat Menjawab Pertanyaan Saya”
[/su_box]
Tercatat empat perusahaan yang pernah dia lamar dan bekerja di dalamnya. Namun, dia hanya bertahan satu tahun di setiap perusahaan. Dia pun memulai peruntungannya di Dubai, bekerja di sana sejak tahun 2016 hingga saat ini. Ketika berada di Dubai, dia tak lagi berpuasa sendirian, selain sebagai negara mayoritas Muslim. Dia pun telah memiliki seorang istri yang menemaninya berpuasa bersama.