Sejarah dan Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai

gambar via: Nisrina's

Kesultanan Samudera Pasai juga dikenal sebagai Pasai, Samudera atau terkadang disebut Samudera Darussalam yaitu kerajaan Islam yang pertama di Nusantara yang terdapat di utara pantai Aceh (secara lebih tepat di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam saat ini), Sumatera di antara abad ke-13 sampai ke-15. Raja pertamanya bergelar Malikussalih sudah mangkat pada tahun 696 hijriah atau 1297, 1 atau menurut hikayat bernama Merah Silu. Hanya sedikit saja bukti yang ditinggalkan untuk membolehkan kajian ke atas sejarah kerajaan ini.

Kehidupan Politik

Sesudah resmi menjadi kerajaan Islam (kerajaan bercorak Islam pertama di Indonesia), Samudera Pasai berkembang cepat menjadi pusat perdagangan serta pusat studi Islam yang ramai. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, Cina dan daerah di sekelilingnya banyak berdatangan di Samudera Pasai. Samudera Pasai sesudah pertahanannya kuat segera meluaskan kekuasaan ke daerah pedalaman, mencakup Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, serta Pasai. Dalam rangka islamisasi, Sultan Malik al Saleh menikah dengan putri Raja Perlak. gambar via: Nisrina’s

Sesudah resmi menjadi kerajaan Islam (kerajaan bercorak Islam pertama di Indonesia), Samudera Pasai berkembang cepat menjadi pusat perdagangan serta pusat studi Islam yang ramai. Pedagang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, Cina dan daerah di sekelilingnya banyak berdatangan di Samudera Pasai.

Samudera Pasai sesudah pertahanannya kuat segera meluaskan kekuasaan ke daerah pedalaman, mencakup Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, serta Pasai. Dalam rangka islamisasi, Sultan Malik al Saleh menikah dengan putri Raja Perlak.

Sultan Malik al Saleh mangkat pada tahun 1297 serta dimakamkan di Kampung Samudera Mukim Blang Me dengan nisan makam berciri Islam. Jabatan Sultan Pasai lalu diteruskan oleh putranya, Sultan Malik al Thahir. Sultan ini mempunyai dua orang putra, yakni Malik al Mahmud serta Malik al Mansur. Saat masih kecil, keduanya diasuh oleh Sayid Ali Ghiatuddin serta Sayid Asmayuddin. Kedua orang putranya itulah yang lalu mewarisi tahta kerajaan. Sementara itu, kedua pengasuhnya itu diangkat jadi perdana menteri. Ibu kota kerajaan pernah dipindahkan ke Lhokseumawe.

Sepeninggal Sultan Malik al-Saleh, Samudra Pasai diperintah oleh Malik al-Zahir I (1297 – 1302). Ia sering memperoleh sebutan Sultan Muhammad. Pada saat pemerintahannya, tidak banyak yang dilakukan. Lalu tahta digantikan oleh Ahmad yang bergelar Al Malik az-Zahir II. Pada masanya, Samudra Pasai dikunjungi oleh Ibnu Batutah, seorang utusan dari Delhi yang sedang mengadakan perjalanan ke Cina serta berkunjung di sana. Menurut Ibnu Batutah, Samudra Pasai mempunyai armada dagang yang sangat kuat. Baginda raja yang bermazhab Syafi’i begitu kuat imannya sehingga berusaha menjadikan Samudra Pasai sebagai pusat agama Islam yang bermazhab Syafi’i.

Pada abad ke-16, bangsa Portugis masuk perairan Selat Malaka serta berhasil menguasai Samudera Pasai pada 1521 sampai tahun 1541. Setelah itu wilayah Samudera Pasai menjadi kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Saat itu yang menjadi raja di Aceh yaitu Sultan Ali Mughayat.

Raja – raja yang penah memerintah Kerajaan Samudera Pasai antara lain:

1. Nazimudin al Kamil

Pendiri Kerajaan Samudera Pasai, dia yaitu seorang laksamana laut dari Mesir. Pada tahun 1238 M, dia memperoleh tugas merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat yang dijadikan tempat pemasaran barang – barang dari timur. Tujuannya membangun Kerajaan Samudera Pasai yaitu untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah – rempah serta lada. Dia menempatkan dasar – dasar pemerintahan kerajaan dengan berlandaskan hukum – hukum ajaran Islam. Di bawah pemerintahannya Samudera Pasai mengalami perkembangan yang cukup cepat meskipun secara politis kerajaan ini masih di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

2. Sultan Malikul Saleh (1285 – 1297 M)

Sesudah berhasil menaklukkan Dinasti Fatimah di Mesir (menganut aliran Syi’ah), Dinasti Mamaluk (menganut aliran Syafi’i) ingin merebut Samudera Pasai supaya bisa menguasai pasaran lada di wilayah timur. Maka Dinasti Mamaluk mengirim Syekh Ismail yang bersekutu dengan Marah Silu (keturunan Marah Pasai). Mereka berhasil merebut Kerajaan Samudera Pasai, serta Marah Silu diangkat sebagai rajanya dengan gelar Sultan Malikul Saleh (Malik Al Saleh).

Sultan yang awal mulanya menganut aliran Syi’ah pada akhirnya berbalik menganut aliran Syafi’i, seperti Dinasti Mamaluk. Perkawinannya dengan Putri Ganggang Sari bisa memperkuat kedudukannya di daerah pantai timur Aceh, hingga Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan di Selat Malaka.

3. Sultan Malikul Thahir (1297 – 1326 M)

Sesudah Sultan Malikul Saleh meninggal dunia, tahta kerajaan berpindah pada putranya yang bergelar Sultan Malikul Thahir (Malik Al-Thahir). Pada saat kekuasaannya, terjadi peristiwa penting di Kerajaan Samudera Pasai ketika putra Sultan Malikul Saleh yang bernama Abdullah memisahkan diri ke daerah Aru (Barumun) serta bergelar Sultan Malikul Mansyur. Dia kembali pada aliran yang semula yakni Syi’ah.

Saat kerajaan Malaka nampak serta berkembang sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka, kedudukan Samudera Pasai sebagai daerah perdagangan mulai redup.

Kehidupan Ekonomi

Kehidupan Ekonomi masyakarat Kerajaan Samudera Pasai terkait dengan perdagangan serta pelayaran. Hal semacam itu disebabkan karena letak Kerajaan Samudera Pasai yang dekat dengan Selat Malaka sebagai jalur pelayaran dunia ketika itu. Samudra Pasai memakai Selat Malaka yang menghubungkan Samudra Pasai – Arab – India – Cina. Samudra Pasai juga mempersiapkan bandar-bandar dagang yang dipakai untuk menambah perbekalan untuk berlayar selanjutnya, mengurus masalah perkapalan. gambar via: Seputar Aceh

Kehidupan Ekonomi masyakarat Kerajaan Samudera Pasai terkait dengan perdagangan serta pelayaran. Hal semacam itu disebabkan karena letak Kerajaan Samudera Pasai yang dekat dengan Selat Malaka sebagai jalur pelayaran dunia ketika itu. Samudra Pasai memakai Selat Malaka yang menghubungkan Samudra Pasai – Arab – India – Cina. Samudra Pasai juga mempersiapkan bandar-bandar dagang yang dipakai untuk menambah perbekalan untuk berlayar selanjutnya, mengurus masalah perkapalan, mengumpulkan barang dagangan yang akan di kirim ke luar negeri, serta menyimpan barang dagangan sebelum diantar ke banyak daerah di Indonesia.

Kehidupan Sosial Budaya

Para pedagang asing yang singgah di Malaka untuk sementara menetap beberapa lama untuk mengurusi perdagangan mereka. Dengan hal tersebut, para pedagang dari beragam bangsa itu bergaul selama beberapa lama dengan masyarakat setempat. Peluang itu dipakai oleh pedagang Islam dari Gujarat, Persia, serta Arab untuk menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, kehidupan sosial masyarakat bisa lebih maju, bidang perdagangan serta pelayaran juga bertambah maju. gambar via: Berbagi Informasi

Para pedagang asing yang singgah di Malaka untuk sementara menetap beberapa lama untuk mengurusi perdagangan mereka. Dengan hal tersebut, para pedagang dari beragam bangsa itu bergaul selama beberapa lama dengan masyarakat setempat. Peluang itu dipakai oleh pedagang Islam dari Gujarat, Persia, serta Arab untuk menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, kehidupan sosial masyarakat bisa lebih maju, bidang perdagangan serta pelayaran juga bertambah maju.

Kerajaan Samudera Pasai sangat dipengaruhi oleh Islam. Hal semacam itu dapat dibuktikan terjadinya perubahan aliran Syiah jadi aliran Syafi’i di Samudera Pasai ternyata mengikuti perubahan di Mesir. Ketika di Mesir sedang terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimah yang beraliran Syiah pada Dinasti Mameluk yang beraliran Syafi’i. Aliran syafi’i dalam perkembangannya di Pasai menyesuaikan dengan adat istiadat setempat hingga kehidupan sosial masyarakatnya adalah campuran Islam dengan kebiasaan istiadat setempat.

Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai

Ada banyak sekali peninggalan kerajaan Samudra Pasai yang masih dapat kita temui di sekitaran kota Lhokseumawe serta Aceh Utara. Kerajaan yang didirikan oleh Marah Silu dengan gelar Sultan Malik as-Saleh, kesultanan ini dibangun pada tahun 1267. Tetapi sayangnya kerajaan Pasai pada tahun 1521 pada akhirnya runtuh setelah serangan dari Portugal. gambar via: teethadiw – WordPress.com

Ada banyak sekali peninggalan kerajaan Samudra Pasai yang masih dapat kita temui di sekitaran kota Lhokseumawe serta Aceh Utara. Kerajaan yang didirikan oleh Marah Silu dengan gelar Sultan Malik as-Saleh, kesultanan ini dibangun pada tahun 1267. Tetapi sayangnya kerajaan Pasai pada tahun 1521 pada akhirnya runtuh setelah serangan dari Portugal.

A. Cakra Donya

Cakra Donya satu lonceng yang berupa stupa buatan negeri Cina pada tahun 1409 M. Ukurannya setinggi 125 cm dan lebarnya 75 cm. Di bagian luar Cakra Donya ada banyak hiasan dan beberapa simbol kombinasi aksara Cina serta Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo, sedangkan aksara Arab telah tak terbaca lagi.

B. Makam Sultan Malik Al-Shaleh

Makam ini terdapat di Desa Beuringin, Kec Samudera letaknya kurang lebih 17 km sebelah timur kota Lhokseumawe.

C. Makam Sultan Muhammad Malik Al- Zahir

Malik Al-Zahir yaitu putera dari Malik Al- Saleh yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1287 hingga 1326 M. letak makamnya bersebelahan dengan makam ayahnya Malik Al-Saleh.

D. Makam Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah

Makam ini merupakan peninggalan dari Dinasti Abbasiyah serta beliau adalah cicit dari khalifah Al-Muntasir. Teungku Sidi mamangku jabatan Menteri Keuangan di samudra pasai. Makam ini terdapat di Gampong Kuta Krueng, batu nisannya terbuat dari marmer dihiasi kaligrafi.

E. Makam Teungku Peuet Ploh Peuet

Terdapat sebuah komplek yang ada makam 44 orang ulama dari Kesultanan Samudera Pasai yang dibunuh karena mengharamkan pernikahan raja dengan putri kandungnya. Makam ini terdapat di Gampong Beuringen Kec Samudera. Pada nisan itu juga bertuliskan kaligrafi surat Ali Imran ayat 18.

F. Makam Ratu Al-Aqla (Nur Ilah)

Yaitu puteri Sultan Muhammad Malikul Dhahir, Makam ini terdapat di Gampong Meunje Tujoh Keca Matangkuli. Batu nisannya berhiasakan kaligrafi berbahasa Kawi serta Arab.

G. Stempel Kerajaan Samudra Pasai

Stempel ini diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir oleh Tim peneliti Sejarah Kerajaan Islam. Di temukan Desa Kuta Krueng, Kec Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Ketika ditemukan stempel dalam kondisi patah di bagian gagangnya.

H. Naskah Surat Sultan Zainal Abidin

Yaitu surat tulisan Sultan Zainal Abidin pada tahun 923 H atau 1518 M, naskah atau surat ini ditujukan pada Kapitan Moran.

Baca juga: 9 Cara Memilih Baju Untuk Anak Perempuan