Bukan badut bukan kanak bukan hitam
bukan pula putih, tapi tegak vertikal
dan si polos yang seperti selalu bertanya
berbaju malam dan salju:
Sang ibu tersenyum pada pelaut,
seperti nelayan melihat astronot,
tapi anaknya tak tampak senyum
ketika dia menatap anak burung,
dan dari laut yang kacau balau
ada penumpang yang amat bersih
bangkit di perkabungan bersalju.
Aku, tanpa ragu, anak burung itu
di sana, di pulau-pulau menggigil
ketika dilihatnya aku dengan matanya,
dengan matanya samudera purba:
tanpa sayap, tak juga lengan
kecuali dayung kecil yang kuat
di kedua sisi tubuhnya:
setua garam;
ketika zaman air masih mengalir,
dan dia melihatku dari zamannya:
sejak itu, aku tahu bahwa aku tak ada;
Aku hanya cacing di dalam pasir.
Ada dalih rasa ibaku
iba yang tetap tinggal di pasir:
burung yang religius,
burung yang tak perlu terbang,
burung yang tak perlu berkicau,
dan lewat bentuk tampaknya
dia burung berjiwa bebas berdarah garam:
maka dari urat nadinya laut paling dingin
jadi terpecahkan.
Penguin, pengembara yang tak kemana-mana,
Pendeta yang teguh tenang di kebekuan cuaca,
Aku takzim padamu, pada garam vertikalmu
Aku cemburu pada bulu-bulu kebanggaanmu.
(sumber)