AKU seperti disambut hymne, lengang, jerit
terompet kuningan yang ditiup prajurit di
halaman maskapai dagang, di Tanjungpinang.
“Apakah barang-barang ini dijual?” tanyaku,
pada sepasang perantau dari Jawa. Istrinya,
berjualan nasi goreng – dengan taburan daun
seledri yang malam itu tercium aneh; berebut
menusuk hidung dengan bawang dan cabai.
Suaminya mengelola kedai barang antik itu.
Waktu lepas Isya, tak ada yang berbelanja.
Siapa juga yang mau beli, wayang semar,
cincin akik, kentongan bambu, tasbih kayu
cendana, atau hiasan dinding kayu diukir
di Jepara bergambar Winnie The Pooh, Mickey
Mouse, dan kawanan Teletubbies, di malam
yang mulai beranjak larut ini?
Aku seperti ditodong pistol tua, terbiar
di sudut lemari kaca. “Kau dari mana? Mau
cari apa?” Seperti opas tua yang bertanya,
di pintu waktu yang sia-sia hendak kubuka.
(sumber)