CAHAYA tak pernah cukup di kotamu. Pabriknya yang selalu kegelapan tenaga, tak pernah bisa memproduksi cahaya cukup, secukup yang dibutuhkan malam, dan yang dibutuhkan orang-orang yang membutuhkan malam di kotamu itu.
Kotamu suka mematikan cahayanya sesuka maunya. Padahal, orang-orang di kotamu sudah tak lagi akrab dengan gelap. Mereka mata gelap, memuja cahaya.
“Kalau kamu mau berdagang di kotaku, datanglah sebagai pedagang cahaya,” katamu, padaku, pada suatu malam yang katamu sedang gemerlap gelapnya.
Kotamu, terlanjur suka meniru kota lain yang gemar bergincu cahaya, suka menghambur-hamburkan cahaya, doyan memandikan tubuh dengan cahaya. “Aku silau melihat cahaya kotaku, tapi sekarang risau karena sudah lupa bagaimana dulu aku nikmat sekali menikmati gelap kotaku ini,” katamu.
Aku punya cahaya. Tapi, aku bukan pedagang. Kalau pun aku mau berdagang, aku tak akan memperdagangkan cahaya yang aku punya itu. Aku tak mengatakan itu padamu. Padamu aku cuma bilang, “Cahaya yang diperdagangkan di kotamu, di kotaku, dan di kota yang bukan kotamu dan bukan kotaku itu adalah cahaya palsu. Kita membelinya mahal sekali, tapi itu tak semahal harga kehilangan gelap sejati yang hilang dari kotamu, kotaku, dan kota yang bukan kotamu dan bukan kotaku…..
(Sumber)