SEHARUSNYA ini kutulis saat SMA kelas satu,
ketika aku suka meminjam buku catatan matematika-mu
lalu kukembalikan dengan sisipan sajak rindu yang lucu
kubayangkan aku sebagai penyanyi bermata dewa itu
Maka seakan kuamalkan lirik lagunya, dengan begitu,
bukankah di kantin sekolah juga kita bertukar nama? Dan kamu
sejak itu jadi berani menolak supir penjemput, utusan ayahmu?
Dari sekolah ke terminal kota bermeter dua ribu
jarak yang tak cukup lama bagiku untuk menggandengmu,
menggenggam tanganmu, sambil kujelaskan arti sajakku
yang diam-diam seluruhnya kamu salin ke buku harianmu.
“Itu artinya kamu mau bilang cinta padaku?” tanyamu,
“Ayo menyeberang,” kataku, pura-pura tak mendengarmu,
dan kuraih pundakmu, di tengah zebra cross kita berhenti dulu,
sambil terus kupeluk kamu, kita menunggu angkot, ojek, truk berlalu,
untungnya, tak ada lewat kepala sekolah atau mobil dinas ayahmu.
“Apa tadi pertanyaanmu?” kataku sambil kuusap keringat di lenganmu,
“Ah, sudah lewat,” katamu semakin mendekat padaku.
Lewat pukul satu, tiba di terminal yang memisahkan kau dan aku,
kau ke istana – rumah dinas perusahaan tambang negara –
– yang kamu sebut sebagai penjara – dan aku ke toko buku,
mencari – sesekali mencuri – buku: cerpen Seno, novel Arswendo,
antologi Sapardi, dan kisah petualangan lelaki beransel biru.
Dari Pos Polisi di terminal, kudengar lagi lagu lelaki itu,
“Biar tahu, biar rasa, maka tersenyumlah….” Tapi, aku tahu, sejak
di kantin dulu, Cinta itu, tak pernah jadi milik kamu, atau aku
(Sumber)