Antara beranjak dan bertahan, hari gamang,
dalam cinta dengan batasnya yang bimbang.
Petang yang melingkar sampai ke teluk tenang,
di sana kata diam dalam senyap batu karang.
Semua tampak mata, semua tak terbaca,
semua tak beranjak jauh, semua tak tersentuh.
Lembar kertas, buku, pencil, kacamata,
istrirah teduh di bawah nama-nama mereka.
Debar waktu di kuil-kuilku mengulangkan
suku kata darah yang sama, tak terubahkan.
Sinar menukar sorot dari dinding yang sama,
ke panggung mencekam, teater permenungan.
Lalu kudapati diri sendiri di tengah bola mata,
yang mengawasi diri sendiri di kosong tatap.
Menghamburlah momentum. Tanpa gerak raga,
aku bertahan aku beranjak: aku sebuah jeda.
(sumber)