Rumahku betapa miskin; rumah yang kerap kutinggalkan;
Tubuhku tersika sakit, aku tak bisa hadiri keramaian.
Tak ada jiwa yang hidup, kecuali mataku
Bila aku terbaring sendiri, terkunci di kamar penginapanku.
Lampuku rusak, menyala dengan api yang hanya kerlip.
Tirai koyakku pun melentur tak lagi menutup rapat.
“Tsek, tsek” aku dengar suara salju baru menimpa,
suara di depan pintu dan di ambang jendela.
Semakin menua, aku semakin tak bisa tidur
terbangun di tengah malam, duduk di tepi ranjang.
Aku tak pelajari “seni duduk dan melupakan,”
Bagaiamana harus kutanggung kesendirian ini?
Dingin dan kaku, tubuhku terpecah ke bumi;
Tanpa terintangi, jiwaku menyerah pada Perubahan
Maka inilah empat tahun yang pernuh kebencian,
Melampaui seribu d an tiga ratus malam!