WAKTU itu tidak ada. Tapi ada. Pada garis-garis lipatan di sekeliling leherku, misalnya. Itu berbaris seperti tangga. Aku berjalan di situ, tak tahu sedang menaiki, atau menuruni tangga itu.
Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada buli-buli lemak yang menggantung di luar kantung lambungku, misalnya. Pelan-pelan ia menggunduk. Menjadi begitu penuh di tempat yang tak seharusnya kubiar-biarkan.
Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada kusutnya kerutan di punggung lenganku, misalnya. Juga bayangan bekas luka-luka, yang rasa sakitnya sudah lama, teramat akrab. Kuterima.
Juga pada rambut yang sehelai-sehelai menjadi bening, sewarna benang pancing, dan aku ikan yang cemas, merenangi usia sendiri – tanda bahwa waktu itu ada – yang mendangkal, menyurut, dan menyusut.
(Sumber)