sambil memandang foto bayi sehat di dinding itu.Aku nyaris lupa siapa aku yang sedang tertawa
sebagai bayi di foto yang selalu dikenang ibu itu.
“Kenapa sekarang kau jarang mengajak ibu tertawa?”
Aku diam-diam pergi tak tahan ditodong dengan
pertanyaannya. Di jalanan aku ketemu lelaki tua,
tukang foto keliling yang dulu memotret bayi saya.
“Masih ada bayi sembunyi di dalam tubuhmu,”
katanya sambil meminjamkan foto-foto lamaku
yang masih tersimpan di tasnya yang kedap waktu.
Dari foto-foto itu aku belajar lagi jadi bayi lucu,
menghadap ibu yang sedang mendekap fotoku.
Ibu memang tertawa tapi dia tak mengenaliku.
“Siapa kamu?” katanya terkekeh-kekeh jenaka,
“saya punya anak lelaki yang sekarang gagah
sekali. Dia tak pernah tertawa lagi, tapi aku ingin
menghiburnya. Mengajaknya tertawa, seperti
dulu waktu masih bayi, dia membuatku tertawa.”
“Nah, akhirnya ibu dan mantan bayi itu bisa juga
tertawa bersama. Ayo, abadikan dalam foto,” kata
tukang foto tua yang kebetulan lewat di depan
rumah kami. Ibu pun terus tertawa, aku cuma
berlagak bahagia. “Jangan pura-pura, dong,” kata
bayi jenaka dalam bingkai foto itu, menyindirku.