Lalulalang kata, huruhara manusia, dan beberapa nyanyian burung yang terendam kesepian. Aku terdiam menunggu malam, berdiri sendiri menanti halhal yang tersisa dari percakapan. Hujan turun perlahan, jejak kaki tergesagesa berlari mencari tepian. Aku tersandar pada dinding, membungkus wajah dengan air mata dan hujan, menyatu menjelma keikhlasan.
Dari arah hujan merintik, ada kau yang datang turut bersandar. Satu dinding, satu hujan, dan satu kekosongan menyelimuti kita. Aku hanya bisa melihat, mencuricuri wajahmu yang dikerumuni hujan. Kau hanya menunduk, berkata dengan penuh makna, “Hujan kali ini melahirkan banyak kenangan”.
Aku dan kau, kita lahir dari satu hujan, yang melahirkan banyak kenangan, dan berharap ada cinta yang menyembuhkan kehidupan.
Beberapa waktu kita diam, membasuh mata, dan gelisah melihat hari terlihat malam. Tak ada kata yang bertukar, tak ada pandangan yang bertemu, hanya ada aku yang berdetak memecah air. Dan kamu, hanya menunduk, kosong, dan tangan membasuh wajah.
Wajah kita basah, setelah dibasuh hujan bernyanyian. Dan aku berkata, “Hujan tanpa kenangan, adalah sepi paling tepi”.
Mata terbata, aksara tertahan rasa. Lalu kita melaju pada sebuah perjalanan lain. Berbagi senyum, bertukar ranum, hujan yang harum, mengantarkan kita pada pertanyaan.
Kau dan aku, beberapa waktu yang lalu, masih malu bertukar pertanyaan dan saling menyimpan jawaban. Di bawah cengkeraman malam, kita bertukar pesan diantarkan angin. Di selimuti awan, kita berbagi demam ditemani hujan. Tapi malam akan pergi dan hujan akan berhenti. Malam yang sedap berganti pagi, dan hujan yang lembab lahirkan pelangi. Kita pun tak bisa berlamalama saling bertanya satu sama lain, sebab ada saja diam yang perlu dilahirkan, agar kehidupan arif membawa nasib kita menuju satu takdir.
Kita pun saling bertanya dengan gagap, mengharapkan jawab, menyelamatkan kita yang terjerembab harap. Dengan sebuah pertanyaan aku memulai cinta, memulai prasangka yang tersisa dari banyak makna. Dan dari sebuah jawaban aku tahu kemana membawa harapan, menetaskan sangkaan, yang merayapi pikiran dengan khayalan.
Pertanyaan mungkin bukan awal dari kehidupan. Tapilah pertanyaan memberikan jalan menuju kehidupan.
Maka maafkan aku ketika bertanya siapa namamu, mungkin bukan untuk cinta, tapi sekadar menuntunku merapikan kisah. Sebab di matamu kulihat aliran darahku, apakah itu palsu? Pada hembus nafasmu, kurasakan udara membisik namaku, apakah aku ragu? Khayalan ini membawa pada ilusi tak bertepi, kita satu udara, satu jiwa, yang berdetak padaku dan berdebar padamu. Dan aku bertanya perihal namamu, mungkinkah kau adalah aku, yang menjelma cinta di hadapanku.
“Boleh aku bertanya, siapakah namamu?”
Hujan terhenti sejenak, basah mengering seketika. Satu hujan, satu dinding, satu kenangan. Sebuah nama yang aku tanya, kelak membawaku kemana kaki harus pulang.
“Namaku Aira.”
Kau sebut namamu dengan senyum sebaris. Menghapus wajahku yang tadi menangis. Menghilangkan wajahmu yang tadi habis disekap kenangan.
Namamu akan menjadi rindu. Dan ketika aku bertanya kembali, maafkan aku, sebab kau telah membuka kunci dalam hati. Meski hanya tanda, jawaban sederhana menjadi cukup untuk menentukanku menciptakan perasaan.
Di bawa hujan ini. Aku bersaksi bahwa tiada kerinduan kecuali cinta, yang membawa lidahku menggigil merapal namamu. Dan aku bersaksi, bahwa kau lah kekasihku, yang mengutus rindu untuk mengetuk pintu hatiku di malam bisu.
Terima kasih telah kau sebutkan namamu, mari kita tunggui hujan ini habis kenangan.