Seruni – “Saya menghadapi pihak pemuda, pemimpin tua, dan pemimpin agama.”
Kata itulah yang disampaikan Sukarno kepada para pemuda yang mendatanginya di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Agustus 1945. Kala itu para pemuda mendesak Sukarno agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Sebelum bertemu Sukarno, para wakil pemuda, Sudiro Joyokusomo dan Subadio Sastrosatomo menemui Muhammad Hatta. Kepada Hatta, para pemuda juga mendesak hal yang sama.
Desakan memerdekakan diri (baca: Indonesia) menggelora setelah meluasnya kabar kekalahan Jepang dari tentara sekutu sekitar Juni. Barulah pada 15 Agustus, Sjahrir menyampaikan secara resmi kekalahan Jepang kepada Sukarno.
Perdebatan sengit pada 15 Agustus 1945 malam itu, tetap pada keputusan Sukarno belum akan mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Suasana pun berubah sunyi. Pemuda pulang dengan tangan hampa.
Tak berlangsung lama, para pemuda kembali dengan berpakaian seram masuk dengan diam-diam. Pistol dan sebilah golok pun ikut ditenteng. Dengan membelalakkan mata, para pemuda mencabut golok dan berkata. “Berpakaianlah, Bung…, sudah tiba saatnya.”
Seperti dikutip dari Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno terbitan Yayasan Bung Karno (2017), ucapan tersebut ditujukan kepada Sukarno.
Ternyata para pemuda tidak hanya membawa Sukarno, tetapi juga Hatta ke Rengasdengklok. Untungnya, ‘aksi penculikan’ itu tidak berlangsung lama, karena pada 16 Agustus 1945 malam, Sukarno-Hatta sudah di Jakarta.
“Fat, besok kita umumkan kemerdekaan bangsa kita,” kata Sukarno singkat.
Kepastian itu didapat setelah Sukarno menggelar rapat bersama Hatta dengan para pemuda di rumah Laksamana Maeda. Fatmawati yang selalu berada di sisi Sukarno pun mengucap syukur dalam hati.
“Alhamdulillah, apa yang kami inginkan selama ini tercapai.”
Sebelum pengumuman kemerdekaan Indonesia, Sukarno terlihat sibuk. Berkali-kali Sukarno menulis sesuatu kemudian dirobek-robek lalu dibuang ke keranjang sampah.
Sekitar pukul 06.00 WIB, 17 Agustus 1945, Sukarno berusaha untuk mengistirahatkan tubuh. Dia mencoba memejamkan matanya.
Namun, itu hanya sebentar, sebab pada pukul 09.00 WIB Hatta menemui Sukarno guna membahas persiapan kemerdekaan Indonesia. Waktunya pun tiba. Bertempat di Pegangsaan Timur 56, kemerdekaan Indonesia siap diumumkan.
Sebelum mengumumkan kemerdekaan Indonesia, Sukarno sempat menyampaikan pidato. Menurut Fatmawati, pidato prakemerdekaan Sukarno lebih berapi-api dari sebelumnya. Tidak hanya itu, bagi Fatmawati, pidato tanpa teks itu merupakan yang terpendek yang pernah diucapkan Sukarno.
Pada pagi hari bersejarah itu, perwira PETA senior Latief Hedraningrat menjadi komandan upacara. Fatmawati menaksir ada sekitar 300 orang dalam upacara pengumuman kemerdekaan Indonesia.
Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Sukarno dengan lantang. Saat Sukarno membacakan teks Proklamasi, air matanya bercucuran. Gembira bercampur haru menjadi satu.
“Alhamdulillah, bendera Republik sekarang telah berkibar,” kata Sukarno dalam hati, seperti dikutip dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Yayasan Bung Karno, 2014).
“Kalaupun ia diturunkan lagi, itu harus melalui mayat dari tujuh puluh dua juta bangsaku. Apa pun yang terjadi, kami tak ‘kan melupakan semboyan revolusi: Sekali Merdeka Tetap merdeka!”
Usai mengumumkan kemerdekaan, ternyata tak membuat Indonesia tenang, bahkan bagi Sukarno dan Hatta. Pawai kemerdekaan ternyata mengubah situasi menjadi mencekam. Fatmawati menceritakan, tanda-tanda akan terjadi bentrokan senjata kian terasa. Seminggu setelah Proklamasi, keadaan Jakarta sudah mulai panas.
Saking tidak kondusifnya saat itu, Fatmawati sempat menyamar sebagai tukang pecel, sedangkan Sukarno menyamar sebagai tukar sayur. Sukarno pun harus mengondisikan jalannya seperti orang pincang.
“Keadaan itu berlangsung kira-kira satu bulan. Tiap malam selalu kedengaran tembakan,” ungkap Fatmawati dalam Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno.