Seruni.id – Pria asal New York itu bernama Aron (nama samara), ia terlahir dari keluarga Yahudi yang kemudian menjadi mualaf setelah menjalani pertukaran pelajar di Indonesia.
Neneknya berasal dari daerah Eropa Timur, yang kini menjadi Polandia. Mereka meninggalkan wilayah tersebut, ketika Kekaisaran Rusia semakin anti Yahudi.
Setelah melalui perjalanan panjang, mereka memutuskan untuk menetap di New York. Keluarganya bukanlah Yahudi ortodoks, namun dirinya tetap mengikuti ritual serta perayaan seperti pada umumnya.
Musik menjadi kegemaran Aron sejak kecil, hingga beranjak remaja, ia menyukai musik eksperimental terutama music tradisional dan alat musik dari berbagai wilayah di dunia.
Suatu hari, salah seorang temannya member tahu tentang Indonesia, bahwa ia dapat belajar musik etnomusikalogi di sana. Sejak saat itu, tekadnya untuk datang ke Indonesia semakin kuat. Dan ia mendaftar di sebuah institute seni yang mengajarkannya tentang bidang musik etnomusikologi.
Namun, ia tak memberitahu tentang identitasnya sebagai seorang Yahudi. Tak ada pilihan lain, Aron lantas berpura-pura memeluk agama tertentu yang diakui di Indonesia. Sebab, ia khawatir jika mengaku sebagai Yahudi, ini justru menimbulkan permusuhan.
Lebih dari dua tahun dia tinggal di Indonesia. Selama itulah, ia sudah bergabung ke berbagai klub musik dan selalu menghindari pembahasan mengenai keagamaan.
Ia hanya fokus pada musik kesukaannya saja, sampai tradisi di agamanya terlihat semakin jauh. Jauh dari keluarga dan jauh dari komunitas Yahudi yang selalu mendukungnya.
Sebelum mengenal Islam lebih jauh, ia menganggap agama tersebut hanya membuang-buang waktu saja, karena menurutnya seorang Muslim terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berdoa daripada melakukan hal produktif.
Suatu ketika, Aron bergabung dengan komunitas Gamelan Tradisioanl. Gamelan adalah instrumen perkusi tradisional di Jawa yang terbuat dari logam. Tepat duduk di sebelahnya seorang laki-laki paruh baya, dan membuka obrolan dengan Aron.
Dia menjelaskan bagaimana hubungan gamelan dan Islam. Dia memberitahu tentang ansambel (kumpulan musik) Gamelan Kerajaan Kuno yang satu-satunya mempunyai tujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ada lagi namanya Gamelan Sekaten, ukurannya lebih besar dari gamelan lainnya dan hanya digunakan setahun sekali. Lelaki tua itu menjelaskan bahwa permainan gamelan ini seharusnya mewakili pujian terus menerus atas Nabi Muhammad SAW.
Kisah tersebut, memberikan kesan tersebut bagi Aron, karena dirinya tidak pernah memikirkan aspek spiritual dari musik itu sendiri. Penjelasan gamelan untuk memperingati Nabi Mumahaad seolah melekat di kepalanya.
Aron kemudian terus membuat musik eksperimiental dan rekaman gamelan yang direkam menjadi bagian dari dirinya. Aron mulai mempelajari tentang aspek spiritual Islam, terutama yang disebut mistis Islam di Indonesia.
“Dan jujur, itu menyentuhku, itu mempengaruhi saya. Saya mulai mengerti Islam adalah agama yang hidup dan penuh dengan spirilitualitas yang saya inginkan dalam hidup saya,” ujar Aron sebagaimana dikutip dari muslim.okezone.com (16/3/2020).
Melihat dan membaca tentang Islam di tanah Indonesia, membuat presepsi Aron jauh dari kennyataan. Semakin banyak yang ia baca, membuat dirinya semakin tertarik. Aron juga membaca buku-buku Islam di tempat-tempat lain di dunia dan itu menakjubkan.
Meski ia mulai tertarik dengan Islam, namun pada kenyataannya tidak dengan keluarganya. Hal ini tentu membuatnya khawatir, yaitu tentang apa yang akan mereka katakana jika seorang Yahudi memeluk Islam. Di sisi lain, ia tak ingin kehilangan keluarganya.
Namun pada akhirnya Aron mengikuti kata hatinya, ia membaca shahadat di pusat komunitas Muslim kecil di kota New York. Membaca syahadat merupakan sarat untuk masuk Islam atau jadi mualaf.
Aron selanjutnya mulai berdoa dan berzikir. Ingatan ritmis tentang Allah ini dirasa luar biasa, kata dia, seperti musik spiritual yang menenangkan hati dan pikiran.
Awalnya, Aron tak memberitahu keluarganya tentang keyakinannya yang berganti menjadi Muslim. Namun, karena mereka tak tinggal bersama, jadi ia cukup mudah untuk menyembunyikannya.
Baca Juga: Hidayah Tak Memandang Usia, Rehuella Menjadi Mualaf Saat Duduk di Sekolah Dasar
Namun ketika Aron memberi tahu keluarganya, mereka hanya diam. Ibunya bertanya apakah ia bahagia, dan Aron berkata: “Iya!” Sampai sekarang, Aron masih bisa melihat dan mengunjungi keluarganya. Alhamdulilah.