Menelisik Sejarah Perayaan Hari Ibu 22 Desember

Menelisik Sejarah Perayaan Hari Ibu 22 Desember

Seruni.id – 22 Desember selalu diperingati sebagai Hari Ibu. Di balik perayaan tersebut, tentunya ada sejarah perayaan Hari Ibu yang belum kita ketahui. Untuk mengetahui lebih jelasnya, mari menyimak artikel yang Seruni berikan berikut ini.

Menelisik Sejarah Perayaan Hari Ibu 22 Desember

Kasih sayang Ibu sepanjang masa. Begitulah ungkapan yang kerap terdengar. Bukan tanpa sebab, karena pada kenyataannya memang Ibu selalu menyayangi kita, sejak kita lahir ke dunia bahkan sampai akhir hayatnya. Jasanya tak terhitung dan tak terbalas dengan banyaknya harta benda yang kita miliki.

Karena jasa-jasa itulah, kita layak untuk memberikan sebuah penghormatan kepada para Ibu di dunia. Maka ditetapkanlah Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember. Namun, tahukah kamu asal mula Hari Ibu?

Sejarah Hari Ibu

Hari Ibu pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Hal ini karena pada tanggal tersebut pertama kalinya diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang berlangsung di Yogyakarta tahun 1928 silam. Peristiwa tersebut dikenang sebagai awal mula perjuangan kaum perempuan di Indonesia. Pada tanggal tersebut berbagai pemimpin dari organisasi perempuan di seluruh Indonesia berkumpul untuk bersatu dan berjuang untuk kemerdekaan serta perbaikan nasib kaum perempuan.

Tak Sedikit Masyarakat Indonesia yang Protes Terhadap Hari Kartini

Pada tanggal 21 April, Presiden Soekarno menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Kartini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap aktivis yang memperjuangkan emansipasi wanita, yaitu R.S Kartini. Saat itu, tak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan protes atas kebijakan tersebut. Sebab, Kartini dianggap hanya melakukan perjuangan di Jepara dan Rembang saja. Mereka juga menganggap bahwa Kartini lebih pro terhadap Belanda. Untuk menghindari protes dari para warga tersebut, Presiden Soekarno yang terlanjur sudah menetapkan Hari Kartini, akhirnya menetapkan Hari Ibu untuk mengenang para pahlawan perempuan lainnya.

Pidato Djami (Organisasi Darmo Laksmi) dengan Judul “Iboe”

Djami sempat menceritakan pengalaman masa kecilnya, di mana ia dipandang rendah karena menjadi seorang perempuan. Pada masa kolonial dulu, hanya anak laki-laki yang boleh mengenyam pendidikan. Sedangkan kaum wanita hanya boleh berkutat dalam urusan rumah tangga saja. Hingga saat ini, pandangan tersebut masih mengakar kuat. Pendidikan bagi perempuan pun dianggap bukan hal penting. Sebab, pada akhirnya mereka akan berakhir di dapur.

Namun, Djami memiliki pendapat lain akan hal tersebut, ia mengatakan:

“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang Ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya.”

Yang artinya adalah tidak akan berhasil seorang anak jika ibunya tidak memiliki pengetahuan dan budi yang baik.

Pahlawan Wanita Indonesia Bersatu Membela Hak Mereka

Hampir seluruh agenda dalam kongres tersebut membicarakan hak-hak wanita. Hal tersebut dapat kita lihat dari pertemuan hari kedua kongres. Di mana Moega Roemah membahas soal perkawinan anak. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perempuan kerap kali dikawinkan meski usianya masih belia.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya juga menyampaikan tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Kemudian disusul Siti Moendji’ah dengan “Derajat Perempuan” dan Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hadjar Dewantara— yang membicarakan soal adab perempuan.

Perjuangan Para Pahlawan Wanita, “Seorang Ibu yang Inginkan Keturunannya Sekolah”

Pahlawan wanita seperti Rohana Koedoes, Kartini, hingga Dewi Sartika memiliki peran penting dalam membangun sekolah-sekolah untuk perempuan di Indonesia. Sebab, menurut mereka, seorang Ibu yang pintar dan cerdas merupakan modal awal untuk menjadikan anaknya pintar.

Terlepas dari hal di atas, Hari Ibu adalah momen di mana kita mengingat segala jasa yang telah Ibu berikan. Mungkin kita belum bisa membalas semua itu, atau bahkan kita belum menjadi anak yang baik. Bahkan, kita lebih sering tak mendengarkan nasihatnya, tidak melakukan apa yang beliau inginkan, dan banyak hal lainnya.

Baca Juga: 50 Ucapan Selamat Hari Ibu Menyentuh Hati

Sebagai anak, terkadang kita terlalu gengsi untuk mengungkapkan rasa sayang untuk Ibu. Namun sebaiknya, lakukanlah sebelum selagi masih ada kesempatan dan selagi kita masih bisa melihatnya. Di masa pandemi ini, mungkin kita tak bisa seperti sebelumnya bebas mengunjungi rumah orangtua untuk membuat Ib kita merasa istimewa. Namun, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk merayakan Hari Ibu. Mulai dari meneleponnya atau melakukan video call untuk menanyakan kabar, hingga membelikannya kado yang dipesan secara online.