Seruni.id – Di sebuah ladang yang subur, terdapat 2 buah bibit tanaman yang terhampar. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku sangat dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, serta kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku.”
Dan bibit yang pertama inipun tumbuh, makin menjulang.
Bibit yang kedua bergumam. “Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah di sana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.
Beberapa pekan kemudian, tiba-tiba seekor ayam mengais tanah tersebut, menemukan bibit yang kedua tadi, dan memakannya segera.
***
Teman, memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah dan berani. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah keputusan dengan bijak. Janganlah takut untuk gagal, namun takutlah jika kita tidak pernah untuk mencoba. Kegagalan adalah hal biasa yang terjadi pada setiap orang, namun kesempatan baik itu belum tentu datang untuk kedua kalinya.
Sahabat, memang setiap pilihan selalu ada resiko yang mengiringinya. Namun jangan sampai ketakutan, keraguan dan kebimbangan, menghentikan langkah kita.
“Bukalah setiap pintu kesempatan yang datang mengetuk, sebab, siapa tahu, pintu itu tak mengetuk dua kali.” (Hilman, Lupus I)