Seruni.id – 26 Desember 2004, gelombang yang sangat besar, dasyat meluluhlantakan serambi Mekah, Aceh. Ya, secara fisik, terjadinya gelombang besar dan dasyat yang sangat dikenal dengan Tsunami tersebut membuat banyak wilayah Aceh hancur dalam sekejab. Korban manusiapun banyak berjatuhan.
Bencana bisa menghancurkan, namun bencana juga bisa menyatukan. Bencana juga dapat membuat semua pihak terbangun dan sadar apa yang seharusnya dilakukan. Itulah salah satu hal yang terjadi pasca tsunami Aceh 13 tahun lalu.
Seperti yang kita ketahui bersama, gempa berkekuatan 9,1 SR yang berpusat di dasar laut, 20 sampai 25 kilometer lepas pantai barat daya Sumatra, membawa serta gelombang tsunami ke beberapa wilayah di dunia, khususnya di Aceh, Indonesia. Getaran gempa pada pukul 07.59 waktu setempat bahkan terasa hingga daratan Afrika beberapa jam kemudian.
Gempa dahsyat disertasi tsunami pun menjadi petaka saat itu. Tsunami terjadi mulai dari Khao Lak di Thailand, sebagian wilayah di Sri Lanka serta India, dan paling parah terjadi di Aceh, Indonesia.
Seperti yang dilansir oleh Worlbank, gempa dan tsunami yang terjadi secara keseluruhan telah merenggut tidak kurang dari 286.000 korban jiwa. Jumlah korban itu didominasi dari penduduk Aceh yang mencapai 221.000 orang meninggal dunia atau hilang tak bisa ditemukan, dan menyebabkan lebih dari 500.000 orang diungsikan.
Meskipun kenangan atas bencana tsunami itu menjadi sejarah pahit, terutama bagi masyarakat Aceh, namun kemudian juga menerbitkan harapan baru dan tergebrak kesadaran akan ancaman bencana. Bukan hanya bagi warga Aceh, namun Indonesia secara keseluruhan.
Selepas bencana, Indonesia banyak berbenah. Proses rekonstruksi gencar digalakkan. Banyak pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah Indonesia, masyarakat, hingga lembaga donor internasional. Semuanya bahu membahu menggalang dana, hingga mencapai hampir 7 miliar dolar AS (Rp 70 triliun) untuk membangun kembali Aceh.
Di samping gotong royong secara material, tsunami Aceh juga menjadi titik balik kesadaran Indonesia, sebagai bangsa dan negara, akan kesiapsiagaan dan mitigasi atas bencana yang mungkin akan terjadi.
Ketika bencana itu terjadi, belum ada sistem peringatan dini tsunami di wilayah Samudera Hindia, juga belum ada lembaga khusus untuk penanggulangan bencana di wilayah yang tergolong rawan bencana ini. Oleh karena hal tersebut, Indonesia pun mengambil jalan dengan menggandeng negara-negara kawasan Samudera Hindia untuk berkomitmen merancang dan menerapkan sistem peringatan dini tsunami dan mitigasi tsunami.
Kemudian dibentuk Indonesia Disaster Fund yang sebenarnya meniru dari Multi Donor Fund (MDF), yang dikelola Bank Dunia dan berhasil menyumbang 10 persen bantuan dana untuk Tsunami Aceh.
Pelajaran yang didapat dari MDF kemudian diaplikasikan di Indonesia, di antaranya pada tahapan rekonstruksi dalam pembangunan kembali rumah dan masyarakat, infrastuktur, hingga ekonomi. Proses pembangunan dilakukan dengan menerapkan pendekatan berbasis pemulihan masyarakat dan pengaplikasian unsur lintas sektor dalam risiko penanggulangan bencana baik dari segi gender, perlindungan hidup, sampai peningkatan mutu.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias (BRR NAD-Nias) kemudian didirikan pada 16 April 2005 dengan melibatkan sekitar 900 organisasi di seluruh dunia. Lembaga khusus ini dikepalai oleh Kuntoro Mangkusubroto dan menjadi “pangkalan” keluar masuknya dana dari berbagai pihak.
Setelah lebih dari lima tahun berdiri, BRR menyelesaikan tugasnya pada 2009. Alokasi dana sekitar 6,7 juta dolar AS (Rp 67 triliun saat itu) turut berkontribusi membangun lebih dari 140.000 rumah, 1.759 sekolah, 363 jembatan, dan 13 bandara di Aceh.
Dalam prosesnya, pastinya pembangunan tidak serta merta berjalan mulus begitu saja. Masalah ketidakmerataan bantuan, macetnya proyek, kisruh akibat pemetaan hak milik tanah, hingga keributan di kalangan masyarakat terjadi.
Hal lainnya yang patut diapresiasi adalah pedoman penanganan bencana yang diterbitkan BRR. Pedoman tersebut terangkum dalam “10 Pelajaran Manajemen untuk Pemerintahan Tuan Rumah yang Mengkoordinasikan Rekonstruksi Pasca-Bencana.”
Perhatian serius pemerintah Indonesia akan ancaman bencana ini kemudian diwujudkan secara resmi dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 26 Januari 2008, tiga tahun setelah tsunami Aceh melanda. Perkembangan penelitian atas kebencanaan juga mulai tumbuh dan berkembang pesat yang dapat meningkatkan pengetahuan serta kesadaran bencana di Indonesia.
Satu di antara dampak terbesar lain pasca tsunami Aceh adalah terbukanya peluang perdamaian di Aceh. Yaitu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI. Konflik GAM yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun sejak 1976 itu akhirnya mencari cara damai setelah bencana tsunami yang meluluhlantakkan terjadi.
GAM yang juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) ini dipimpin oleh Hasan Tiro selama hampir tiga dekade. Selama 30 tahun, konflik GAM telah merenggut nyawa setidaknya 15.000 jiwa. Setelah bencana tsunami, kelompok GAM kemudian memutuskan untuk melakukan gencatan senjata.
Pada Januari sampai Juli 2005 setidaknya lima putaran negosiasi berlangsung di Helsinki, Finlandia. Pertemuan itu dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Setelah 7 bulan 20 hari, kesepakatan pelucutan senjata dan pernyataan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia pun tercapai pada 15 Agustus 2005. Perjanjian damai itu menjadi awal yang baru bagi masa depan “Serambi Mekkah” Indonesia itu.
Raisa Kamila, Peneliti dan Sejarawan Aceh, melihat upaya perdamaian di sana terjadi atas kehendak yang lebih besar dibanding baku hantam golongan, yaitu kepentingan masyarakat Aceh. Ia juga mengemukakan, tsunami yang terjadi banyak dijadikan masyarakat sebagai peringatan untuk lebih mawas diri.
Terlepas dari pro dan kontra, menurut Kamila, penerapan syariat Islam turut berperan dalam perilaku masyarakat Aceh dengan kesadaran agar tidak terkena karma atau azab, kembali terjadi bencana, jika melakukan penyimpangan.
Baginya, imbas langkah perdamaian itu membuka isolasi yang terjadi di Aceh. Sehingga pembangunan, investasi, dan integrasi ekonomi Aceh dengan daerah lain di Indonesia dan dunia mulai terjalin. Meski begitu, ia tidak menyangkal ketimpangan sosial serta pengangguran di Aceh masih menjadi masalah serius hingga kini yang perlu segera dibenahi.
Selain itu, akses di Aceh juga belum sepenuhnya didukung untuk perkembangan dan kemajuan bagi generasi muda Aceh. Kendati demikian, Kamila tetap optimis atas masa depan Aceh yang lebih baik jika adanya pembangunan baik dari material ataupun mental.
Maka, memelihara asa di Aceh pasca 13 tahun tsunami ialah perjuangan meningkatkan kesejahteraan, menjaga moral, dan mental hingga mewujudkan perdamaian yang berkelanjutanmerupakan tugas kita bersama untuk kepentingan bersama.