5 Fakta Kisah Cinta Kartini yang Begitu Mengharukan

5 Fakta Kisah Cinta Kartini yang Begitu Mengharukan
kompas.com

Seruni.id – Raden Ajeng Kartini, namanya tak lekang dimakan waktu. Sosok wanita yang lahir pada 21 April 1879 ini merupakan salah satu pejuang bagi Indonesia, khususnya bagi kaum wanita. Di balik perjuangannya, kisah cinta Kartini begitu mengharukan. Di usia 24 tahun, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, yakni Adipati Djojoadiningrat. Namun, kisah cinta Kartini tidak semulus kebanyakan cinta yang diharapkan. Ia harus menghadapi kenyataan di mana pernikahannya mengalami berbagai tantangan yang cukup pelik. Lantas, bagaimana kisah cinta Kartini? Berikut Seruni telah merangkumnya untukmu:

 

1. Kehidupan Keluarga Poligami

Istilah poligami seolah tak lepas dari sosok Kartini. Pasalnya, sang ibu, M.A. Ngasirah, bukanlah satu-satunya istri dari ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Diketahui, sang ayah menikah lagi dengan orang darah biru bernama Raden Ajeng Woerjan. Kondisi keluarganya ini yang membuat ia menentang perkara poligami dengan alasan sejumlah adat yang terlibat di dalamnya akan merugikan pihak perempuan. Namun, seolah ia tak bisa menolak takdir dengan keadaan bahwa dirinya harus menerima ketika dijadikan sebagai istri keempat seorang Bupati Rembang, Adipati Djojodiningrat.

 

2. Pengajuan Syarat Sebelum Menikah

Kisah cinta Kartini tak semulus yang kita bayangkan. Sebagai bakti dan bentuk cintanya terhadap sang ayah, sebelum menikah ia mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, ia ingin diizinkan untuk melakukan apa saja demi mencapai cita-citanya dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Salah satu keinginannya adalah mendirikan sekolah untuk para perempuan, dengan status dirinya sebagai pengajar di sekolah tersebut. Sang suami pun bersedia untuk memenuhi persayaratan yang diajukan tersebut.

 

3. Anti Terhadap Prosesi Adat Pernikahan

Sejak dahulu kala, dalam budaya Jawa, terdapat berbagai macam prosesi yang telah dilakukan secara turun-temurun. Salah satu adat yang kerap dilakukan, yaitu mengharuskan pengantin wanita untuk berlutut seperti menyembah atau mencium kaki pengantin laki-laki. Namun, Kartini enggan melakukan prosesi tersebut. Sehingga hal tersebut menjadi syarat pra nikah di awal sebelum ia menikah dengan Adipati.

 

4. Meninggal Setelah Melahirkan

Setelah semua syarat terpenuhi, barulah Kartini menikah dengan Adipati. Kemudian, di usianya yang menginjak ke-25 tahun, ia melahirkan seorang putra yang diberi nama Soesalit Djojodhiningrat, tepatnya pada tanggal 13 September 1904. Namun sayang, empat hari pasca melahirkan, Kartini meninggal dunia di usianya yang masih sangat muda. Ia kemudian dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Meski raganya telah tiada, tapi kisah cinta Kartini dan perjuangannya tetap kekal dan terasa di benak masyarakat Indonesia.

 

5. Kumpulan Sajak Kartini Tentang Cinta

Semasa hidup, Kartini menghabiskan waktunya untuk hal-hal bermanfaat, salah satunya dengan menulis. Ia kerap menulis surat yang membahas soal cinta dan hubungan. Hingga kemudian surat-surat tersebut dirilis menjadi sebuah buku yang tersedia dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Melayu, bukunya berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Surat tersebut menjadi curahan hati Kartini tentang apa yang ia rasakan dan alami tentang cinta. Berikut merupakan beberapa kutipan dari surat-surat Kartini, antara lain.

Cinta! Apa yang kita ketahui tentang cinta? Bagaimana kita dapat mencintai seorang pria yang tak pernah kita kenal sebelumnya? Bagaimana pria itu dapat mencintai kita? Tentu saja mustahil. Perempuan dan laki-laki muda dipisahkan, dan tak pernah diizinkan untuk berjumpa. (Jepara, 25 Mei 1899)

Bagaimana mungkin seorang pria dan wanita dapat mencintai satu dengan yang lain ketika baru berjumpa pertama kali dalam kehidupan ini setelah mereka terikat dalam pernikahan? (Jepara, 6 November 1899)

Saya tak akan pernah, tak akan pernah jatuh cinta. Mencintai, pertama-tama membutuhkan rasa hormat; dan saya tidak dapat menghormati pemuda Jawa muda. Bagaimana saya menghormati seseorang yang telah menikah dan menjadi seorang ayah, dan yang telah memiliki istri yang telah melahirkan anak-anaknya, membawa perempuan lain ke dalam rumahnya? (Jepara, 6 November 1899)

Baca Juga: 3 Cara Merayakan Hari Kartini bagi Wanita Indonesia