Seruni – Saya yakin sebetulnya ada ribuan, atau malah jutaan, lelaki di luar sana dalam relasi heteroseksual menjalankan peran ayah yang baik bagi anak-anaknya. Kita sudah sering mendengar lelaki bersedia menjadi ‘ayah rumah tangga’ sementara sang istri bekerja mencari nafkah.
Jadi, ga salah dong kalau aku merasa masyarakat masa kini sudah move on dari pembedaan kerja perempuan dan laki-laki. Selebritas dunia semacam David Beckham saja mengaku bangga menyatakan dirinya sebagai “house-husband” di kala istrinya Victoria, kini sibuk membangun kerajaan bisnis fashion.
Makanya, mengherankan deh kalau masih ada orang yang ribet melihat cowok melakukan kerja-kerja ibu rumah tangga. Sayangnya, itulah yang terjadi ketika warganet Indonesia menyaksikan foto-foto Ruben Onsu di Instagram. Ruben mengunggah fotonya menggendong anak perempuannya, Thalia Putri Onsu yang berusia dua tahun, saat berlibur. Unggahan Ruben tersebut menimbulkan beragam pertanyaan dari warganet.
Kebanyakan warganet mempertanyakan, mengapa harus Ruben yang menggendong Thalia? Mengapa bukan Sarwendah sebagai seorang ibu (perempuan) yang menggendong Thalia? Ruben lantas mengunggah foto lain yang mirip dengan gambaran foto sebelumnya dilengkapi caption, berisi jawaban bagi sejumlah pertanyaan yang berkembang di kolom komentar akun instagramnya.
“Banyak yg nanya, kenapa Ayah nya yg gendong bukan ibunya? Gak malu laki2 gendong anak di muka umum ? Saya jelaskan yg saya lakukan tidak seberapa di banding kan yg di lakukan istri saya setiap hari nya, jadi selama saya bisa dan lagi bersama keluarga ya tidak ada salah nya saya sedikit meringankan pekerjaan bunda nya, dan saya tidak pernah malu menggendong anak di depan umum sekalipun menggunakan gendongan krn tujuan saya untuk buat keluarga saya happy bukan mendengarkan omongan orang yg melihat, terima kasih yg mau baca dan mengerti penjelasan saya, maacihhh semua.”
Melalui unggahan Ruben tersebut, masyarakat kemudian bereaksi memuji Ruben karena sebagai selebritas dianggap berhasil memberi contoh peran sebagai ayah. Saya setuju jika peran yang dilakukan Ruben mendapat apresiasi, apalagi jika hal itu ditunjukkan seorang public figure yang diakrabi masyarakat dari berbagai kelas sosial.
Masalahnya, sekali lagi, sangat sedikit warganet dalam kolom komentar Ruben yang menganggap bahwa ayah yang menggendong anak sebagai kewajaran. Bukankah menggendong anak sudah sewajarnya dilakukan seorang ayah?
Syaldi Sahude, pegiat di Aliansi Laki-laki Baru—sebuah aliansi yang dibentuk untuk mengajak laki-laki terlibat dalam pendidikan keluarga—mengaku tidak kaget dengan reaksi warganet di kolom komentar Ruben.
“Kalau pakai budaya yang berkembang di Indonesia yang sangat patriarkis ya memang seperti itu. Lelaki tugasnya berada di wilayah publik, di luar sementara untuk wilayah domestik yaitu wilayah pengasuhan anak berada di perempuan,” kata Syaldi Sahude kepada VICE Indonesia.
Di Indonesia, budaya machoisme melanggengkan pemikiran bahwa “laki-laki sejati” adalah menjadi keras, maskulin, tidak menangis, dan tentunya tidak menggendong anak dengan cukin seperti yang dilakukan Ruben. Syaldi berpendapat machoisme sejenis berkembang di seluruh dunia. Namun, menurutnya di Indonesia budaya tersebut berkelindan dengan agama yang akhirnya menuntut seorang lelaki hanya menjadi pemimpin keluarga, tanpa harus menjalankan peran setara ibu.
“Kalau kita tarik maskulinitas sebagai sebuah sifat itu kan banyak bicara tentang tanggung jawab, tegas, lebih ke kepemimpinan, dan semuanya ditempelkan ke laki-laki. Padahal kalau kita pikir-pikir siapa yang paling bisa memimpin diri, lalu soal tegas laki-laki dan perempuan juga semua bisa tegas. Dan (menjadi) toxic (masculinity) karena itu selalu dibuat eksklusif untuk laki-laki,” kata Syaldi. “Realitanya sekarang meskipun partisipasi perempuan di ranah public itu besar, tapi saat kembali ke rumah bebannya menjadi double. Dia tetap harus mengurus rumah tangga dan mengurus anak.”
“Aku dan beberapa teman di Aliansi Laki-laki Baru itu sangat hati-hati dengan glorifying model seperti ini, mengasuh anak, menggendong, itu bukan sesuatu yang luar biasa. Itu tanggung jawab laki-laki (juga). Bukan tanggungjawab perempuan, tapi tanggung jawab orangtuanya, baik itu ibu maupun ayah,” ungkap Syaldi. “Banyak sekali perempuan yang mengglorifikasi, karena melihat ini bukan hal yang biasa. Apalagi dilakukan oleh seorang selebriti.”
Harus diakui, masyarakat Indonesia masih beranggapan “istri” sangat beruntung jika suami turut serta dalam mengurus anak dan urusan domestik. Namun pertanyaannya, apakah reaksi positif juga timbul jika kondisinya dibalik? Apakah istri yang bekerja dan berkarir bahkan menjadi tulang punggung mendapat pujian yang sama seperti jika laki-laki bersedia mengurus anak?
Apakah lelaki serta merta dianggap beruntung oleh lelaki lain jika sang istri menggendong anak di muka publik? Apakah sang istri akan mendapat pujian dan terima kasih serupa tanpa mendapat objektifikasi dan seksualisasi seperti ketika mereka dijuluki mamah muda?
Lantas, apakah mengurus anak, menggendong, memberi susu, atau menyuapi anak adalah hal yang aneh di Indonesia? Sumpah deh, semua itu biasa aja. Sudah semestinya begitu. Bahkan akan lebih baik kalau semakin banyak laki-laki di Indonesia bersedia melakukannya.
“Untuk awal-awal menurut saya oke lah (glorifikasi), supaya banyak laki-laki yang terjerat mengikuti idolanya. Meskipun banyak juga yang mencemooh,” kata Syaldi. “Tapi harus ada orang-orang yang mendobrak tembok-tembok yang selama ini dibuat. Memang yang bikin anak itu selama ini cuma perempuan? Pengasuhan anak itu tanggung jawab bersama.”