Seruni.id – Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sudah sejak lama diusulkan, tepatnya 26 Januari 2016, kembali menjadi sorotan publik. Karena, kaum feminis dan liberal mendesak DPR untuk segera melakukan pengesahan RUU P-KS tersebut.
Bagi sebagian masyarakat, upaya pengesahan RUU P-KS ini jika dilihat sekilas, dianggap sebagai bentuk perlindungan. Karena angka kekerasan yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu semakin memuncak. Pada catatan Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan sepanjang tahun 2017, ini jelas meningkat 74 persen dari tahun 2016, yakni 259.150 kasus.
Namun, jika diteliti lebih dalam, justru banyak agenda tersembunyi yang ada di dalam draft, yang di susun oleh Komnas Perempuan tersebut. Bagai racun berbalut madu, RUU ini indah dari luar, tapi mematikan.
Mengapa demikian? Karena faktanya, dalam draft RUU P-KS ini, hanya mengatur bentuk kekerasan seksual, dan memisahkan dari pembahasan segala bentuk penyimpangan seksual yang seharusnya justru menjadi inti pembahasan.
Baca Juga: Kekerasan dalam Rumah Tangga dari Kacamata Hukum Islam
Maka, dengan pengesahan RUU P-KS ini, bisa dipastikan akan menjadi jalan tol pelegalaan berbagai bentuk penyimpangan seksual, mulai dari zina hingga LGBT yang tentunya sangat berbahaya bagi generasi di Indonesia.
Menurut Ketua Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia, Prof. Euis Sunarti, RUU ini punya satu masalah serius, yakni memisahkan agama dari keseharian masyarakat.
“Pasal bermasalah itu sedikit. Namun, itu ruh dari RUU tersebut, karena di dalam pasal itu tidak mengenali agama, bahkan memisahkan kehidupan beragama dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dia (RUU P-KS) menegasikan falsafah dan nilai agama dalam kehidupan,” ujar Euis.
Saat dirinya dipanggil ke DPR untuk Rapat Dengar Pendapat Umum pada Januari 2018, Euis pun membacakan draft serta naskah akademik RUU ini. Dan kalau masyarakat hanya membaca draftnya saja, tidak jarang mereka menjadi tidak melihat adanya masalah dalam pasal RUU P-KS. Karena masalah tersebut baru akan terlihat setelah kita mencermati definisinya.
“Pasal-pasalnya tidak terlalu bermasalah, hanya ada beberapa yang bermasalah yang paling inti. Nama RUU ini kan bagus, Penghapusan Kekerasan Seksual, siapa yang enggak setuju, semua harus setuju. Masalahnya, RUU ini tidak memenuhi harapan dari masyarakat kebanyakan di Indonesia, yaitu soal kekerasan seksual itu tidak dipisahkan dari penyimpangan seksual,” lanjut Euis, (27/01/19).
Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia, seolah menjadi wadah yang sangat subur bagi segala bentuk tindak kejahatan, termasuk kekerasan seksual. Karena, peran agama kerap menjadi formalitas semata, yang keberadaannya tidak dianggap penting.
Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menjadi wajib, agar menjamin manusia bertindak bebas (liberal), dalam menetapakan hukum, baik dan buruknya tanpa melibatkan peranan Tuhan (lagi).
Jelas, ini merupakan sebuah kekeliruan, karena dengan melakukan pembahasan bentuk kekerasan tanpa melibatkan bentuk perilaku penyimpangannya. Hal ini akan menghasilkan biasnya nilai.
Pelacuran (zina) misalnya, yang dipermasalahkan hanya jika terjadi kekerasan dalam praktek tersebut, tapi tidak lagi mempermasalahkan aktivitas pelacurannya. Tindakan aborsi juga demikian, yang disoroti hanya tindakan kekerasannya, bukan perilaku aborsinya.
Perilaku penyimpangan LGBT pun yang seharusnya diatur, justru dalam RUU ini tidak diatur. Fokusnya hanya pada bentuk kekerasan, sehingga penyimpangan LBGT yang dilakukan atas dasar suka sama suka, bisa menjadi hal yang legal.
Perlindungan terhadap LGBT dalam RUU PKS dapat dilihat dengan jelas pada pasal 7 ayat (1), yakni adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang, agar melakukan atau berbuat/tidak berbuat.
Artinya, kebebasan seksual harus diberi ruang sebebasnya, termasuk saat seseorang memilih untuk menjalani seks bebas, kumpul kebo, aborsi, hingga kegiatan seks menyimpang, seperti LGBT.
Sementara pada pasal 7 ayat (2), dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu.
Artinya, tidak boleh lagi ada pihak manapun yang melakukan kontrol seksual, termasuk kita sebagai orangtua. Tidak bisa dan boleh lagi memerintahkan anak untuk menutup aurat, sesuai ajaran agama.
Begitu juga dengan kebebasan penuh bagi laki-laki dan perempuan untuk menggunakan pakaian yang diinginkan, sekalipun mereka menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.
Maka, kalau RUU P-KS ini benar-benar disahkan, seseorang yang melakukan pelarangan justru akan mendapat delik hukum, karena melakukan kontrol seksual pada orang lain.
Sudah bisa terlihat musibah besar yang bersembunyi di balik RUU tersebut? Maka, wajib bagi kita untuk menolaknya!
Ini jelas menjadi sebuah paradigma berpikir yang salah kaprah, dengan mempermasalahkan tindakan kekerasan, tapi di satu sisi justru memberikan ruang bebas sebebas-bebasnya untuk siapapun menjalani perilaku kemaksiatan, serta perilaku penyimpangan yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Jadi, hal ini sama saja dengan mematikan api, sembari menyiramkan bensin ke arah api itu sendiri.
Berbeda halnya dengan sistem demokrasi, sistem Islam merupakan jaminan perlindungan dan kemuliaan terbaik bagi manusia. Hal ini bisa terwujud dengan penerapan hukum-hukumnya secara kaffah.
Islam memposisikan perempuan sesuai fitrahnya, bukan sebagai komoditas yang hanya bisa dinilai dari materi. Islam menempatkan posisi perempuan sebagai ummu wa robbatul bayt, yakni ibu dan pengatur rumah tangganya.
Aturan Islam pun menegaskan bahwa perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga, Islam bahkan mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kemuliaan perempuan, sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya, “Perempuan adalah saudara kandung para lelaki. Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan mereka kecuali orang hina”.
Hukum-hukum Islam tentang larangan zina, larangan membunuh (aborsi), kewajiban menutup aurat, justru menjadi bentuk nyata perlindungan atas kemuliaan perempuan. Bagian mana dari ajaran Islam yang merendahkan perempuan? Tidak ada. Bagian mana dari ajaran Islam yang mengurung dan menyiksa perempuan? Tidak ada.
Jelas sudah, bahwa RUU P-KS yang sedang diusulkan dan terus didesak agar segera sah, kelak akan menjadi racun di balik jargon penghapusan kekerasan. Karena tujuan utamanya justru menjauhkan manusia dari fitrahnya. Melahirkan manusia arogan penentang aturan Allah.
Menolak RUU P-KS tak lantas membuat kita seolah mendukung tindak kekerasan seksual. Tapi menolak RUU ini justru karena kita ingin masalah ini ditangani dengan benar, tanpa adanya kekeliruan yang tersimpan di dalam (pasal-pasal)-nya.
Kamu bisa ikut menandatanganinya di sini: Petisi Penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)
Karena, jika RUU P-KS disahkan, bukan tidak mungkin justru mengancam keutuhan rumah tangga, bahkan hingga merusak hubungan baik antara anak dan orangtua. Sebab, contoh ya, jika orangtua memiliki anak yang orientasi seksualnya menyimpang (LGBT), kemudian menikahkan anak dengan lawan jenis, dan anak merasa terpaksa. Justru pihak orangtua yang terancam dipidana. RUU ini juga bisa menjadi legalisasi zina serta segala bentuk penyimpangan seksual. Na’udzubillah.
Wallahu a’lam.