Pulang dari toko berbelanja,
ia batal membeli bingkai,
dia sudah melupakan potret
diri sendiri yang hendak dipajangnya
di garasi dan kamar mandi,
juga foto yang paling lucu,
yang sudah disiapkannya
kelak sebagai pengiring
peti mati berisi jenazah sendiri.
“Buat apa?” katanya kepada
pertanyaannya sendiri.
“Aku sudah ketemu apa
yang benar-benar aku perlu,”
katanya sambil membongkar
tas belanjaannya, mengeluarkan:
Pisau pengusir risau.
Pisau penakluk igau.
Pisau pencincang galau.
/2/
Ada pisau yang luar biasa tajamnya, dia bisa
mendengar jerit kesakitan yang tak bersuara.
“Cocok untuk disimpan di ranjang,
untuk berjaga-jaga, atau dijadikan
teman di tempat tidur saja,”
kata si penjaga toko pisau.
Dia bergidik mendengar penjelasan itu,
lalu terbayang apel yang tak pernah
tuntas ia gerogoti karena selalu didahului
ngantuk, juga leher dan selangkangannya.
“Mau kita coba, Tuan?” tawar si penjaga toko.
“Tidak,” jawabnya segera.
/3/
Pisau yang lain adalah sebilah pisau tua,
sudah terasah ribuan kali, sehingga susah
juga dibedakan punggung dan matanya.
“Kalau Tuan tak menghendakinya, kita tukar
saja…”
“Tidak, biarkan saja. Saya tahu pisau seperti
ini, sukanya dipergunakan untuk apa?”
“Oh, ya. Untuk apa ya kira-kira…”
“Dijadikan hiasan dinding saja. Memangnya
ada kegunaan lainnya…”
“Oh, ya ya ya…” kata si penjaga toko,
sambil tak sengaja melihat bayangan dirinya
di bilah tepian pisau yang mungkin sama tua
dengan dirinya.
/4/
“Kalau pisau yang jenaka ini, gunanya apa?”
tanyanya kepada sang penjaga toko.
“Oh, itu pisau sulap. Dia memang suka
melucu. Suka menghilang tiba-tiba,
suka nyanyi sendiri lagu potong bebek angsa
dan lawakannya yang paling lucu adalah
ketika ditikamkan ke jantung seorang
penonton oleh si tukang sulap pemiliknya
dalam satu pertunjukan sirkus. Lalu,
Tuan tahu apa yang terjadi kemudian?”
“Tidak usah,” katanya. Lalu dalam hatinya
berkata, “Tak mungkin orang lain lebih
tahu daripada saya. Apalagi dia yang
seorang penjaga toko itu…”
“Sebenarnya, saya sayang sama pisau
itu, sebab waktu itu, si tukang sulap
itu sendiri yang menjualnya ke sini. Masih
dengan dandanan badut, sepulang
pertunjukan terbaiknya. Sayang, katanya,
itu penampilan terakhirnya,” kata si
penjaga toko itu.
/4/
Pulang dari toko belanja,
ia menyusun pisau-pisau
yang baru dibelinya.
Sampai dia tertidur di sofa
belum juga terjawab pertanyaan
yang tiba-tiba menggodanya,
“Pisau apa yang paling cocok
ditancapkan di jantung kuburan
sebagai pengganti batu nisan?”