Beberapa Bilah Pisau

petrichor.com
/1/

Pulang dari toko berbelanja,

ia batal membeli bingkai,

dia sudah melupakan potret

diri sendiri yang hendak dipajangnya

di garasi dan kamar mandi,

juga foto yang paling lucu,

yang sudah disiapkannya

kelak sebagai pengiring

peti mati berisi jenazah sendiri.

“Buat apa?” katanya kepada

pertanyaannya sendiri.

“Aku sudah ketemu apa

yang benar-benar aku perlu,”

katanya sambil membongkar

tas belanjaannya, mengeluarkan:

Pisau pengusir risau.

Pisau penakluk igau.

Pisau pencincang galau.

/2/

Ada pisau yang luar biasa tajamnya, dia bisa

mendengar jerit kesakitan yang tak bersuara.

“Cocok untuk disimpan di ranjang,

untuk berjaga-jaga, atau dijadikan

teman di tempat tidur saja,”

kata si penjaga toko pisau.

Dia bergidik mendengar penjelasan itu,

lalu terbayang apel yang tak pernah

tuntas ia gerogoti karena selalu didahului

ngantuk, juga leher dan selangkangannya.

“Mau kita coba, Tuan?” tawar si penjaga toko.

“Tidak,” jawabnya segera.

/3/

Pisau yang lain adalah sebilah pisau tua,

sudah terasah ribuan kali, sehingga susah

juga dibedakan punggung dan matanya.

“Kalau Tuan tak menghendakinya, kita tukar

saja…”

“Tidak, biarkan saja. Saya tahu pisau seperti

ini, sukanya dipergunakan untuk apa?”

“Oh, ya. Untuk apa ya kira-kira…”

“Dijadikan hiasan dinding saja. Memangnya

ada kegunaan lainnya…”

“Oh, ya ya ya…” kata si penjaga toko,

sambil tak sengaja melihat bayangan dirinya

di bilah tepian pisau yang mungkin sama tua

dengan dirinya.

/4/

“Kalau pisau yang jenaka ini, gunanya apa?”

tanyanya kepada sang penjaga toko.

“Oh, itu pisau sulap. Dia memang suka

melucu. Suka menghilang tiba-tiba,

suka nyanyi sendiri lagu potong bebek angsa

dan lawakannya yang paling lucu adalah

ketika ditikamkan ke jantung seorang

penonton oleh si tukang sulap pemiliknya

dalam satu pertunjukan sirkus. Lalu,

Tuan tahu apa yang terjadi kemudian?”

“Tidak usah,” katanya. Lalu dalam hatinya

berkata, “Tak mungkin orang lain lebih

tahu daripada saya. Apalagi dia yang

seorang penjaga toko itu…”

“Sebenarnya, saya sayang sama pisau

itu, sebab waktu itu, si tukang sulap

itu sendiri yang menjualnya ke sini. Masih

dengan dandanan badut, sepulang

pertunjukan terbaiknya. Sayang, katanya,

itu penampilan terakhirnya,” kata si

penjaga toko itu.

/4/

Pulang dari toko belanja,

ia menyusun pisau-pisau

yang baru dibelinya.

Sampai dia tertidur di sofa

belum juga terjawab pertanyaan

yang tiba-tiba menggodanya,

“Pisau apa yang paling cocok

ditancapkan di jantung kuburan

sebagai pengganti batu nisan?”

(sumber)