Kisah Kota Buaya

Pustaka Digital Kota Surabaya640 × 480Search by image
Pustaka Digital Kota Surabaya640 × 480Search by image

KOTA itu dihantui sepasang buaya, keduanya jantan
keduanya betina. Keduanya menebar telur ancaman
di rawa sepanjang tebing sungai yang membelah kota.

ITULAH sepasang buaya terakhir yang dulu menetas
di hulu. Sungai yang tak lagi sungai sejak pohon-pohon
ditebang lalu dihilirkan lalu dimuarakan lalu ditongkangkan
lalu diasingkan ke negeri rakus pengunyah bubur kayu.

ITULAH sepasang buaya yang menyantap tangan dan
kaki: menyisakan orang bertubuh buntung bermata buta
berhati kosong bermulut yang selalu lapar menganga.

SEPASANG buaya itu terus membesar hingga ekornya
di hulu dan kepalanya di muara. Sepasang buaya itu terus
bersanggama dan menelurkan ketakutan. Di rawa-rawa
kota telur-telur itu membesar, cangkangnya menebal dan
bergerak-gerak seperti menunggu saatnya menetas seekor
hewan amat ganas: buaya pemangsa buldoser dan traktor.

KOTA itu dihantui sepasang buaya, keduanya jantan
keduanya betina. Keduanya selalu lapar: mengira hitam
yang melumpuri sungai adalah merah, warna darah hewan
yang tak sempat marah. Hewan yang dipersembahkan
dalam perjamuan-perjamuan besar para tuan-tuan besar.

ITULAH sepasang buaya yang menitipkan juga telurnya
di dada peladang, di kiri kanan tangan para pencari rotan.

()