Sering Keliru, Ini Ketentuan Mengucap ‘Masya Allah’ dan ‘Subhanallah’

google.com

Seruni.id – Masya Allah dan Subhanallah adalah dua kata yang termasuk ke dalam golongan kalimat tayyibah. Kedudukannya setara dengan lafal takbir, tahmid, dan tahlil. Belakangan ini, kalimat tersebut menjadi polemik sebagian kalangan masyarakat. Sebelum kita membahas lebih lanjut, apakah kamu sudah tahu apa arti dari ‘Masya Allah’ maupun ‘Subhanallah?’

Gambar terkait
dream.co.id

Masya Allah memiliki arti “Atas kehendak Allah”. Sedangkan, Subhanallah memiliki arti “Maha suci Allah”. Maksudnya, Allah suci dari segala bentuk keburukan, kekurangan, dan kecacatan. Ungkapan ini sekaligus memperlihatkan keagungan-Nya, bahwa memang Allah lah satu-satunya yang Maha suci. Lantas, kapan dua kalimat tersebut diucapkan selain ketika berdzikir?

Banyak dari kita yang masih keliru menempatkan dua kalimat tersebut. Seperti Subhanallah yang sering diucapkan ketika melihat sesuatu yang indah atau rasa kagum dan Masya Allah diucapkan ketika melihat atau mendengar keburukan atau hal yang kurang baik.

Menurut sebagian kalangan, hal ini merupakan sesuatu yang keliru. Penggunaan kedua kalimat di atas adalah terbalik, maksudnya, yang seharusnya mengucapkan “Masya Allah” justru membaca “Subhanallah”, begitu pula sebaliknya. Ada dua pendapat terkait hal ini, diantaranya ialah:

• Pendapat Pertama:

Pendapat pertama mengatakan, bahwa pengucapan kalimat tasbih (Subhanallah) diucapkan ketika orang yang mengucapkan itu sedang dalam keadaan heran terhadap sikap, takjub terhadap sebuah peristiwa ataupun ketika melihat maupun mendengar sesuatu yang tidak pantas bagi Allah SWT. Adapun dasar pengucapan tasbih ketika heran terhadap sikap orang lain adalah kisah berikut ini:

“Abu Hurairah ra. pernah bertemu dengan Nabi SAW sedangkan ia masih dalam kondisi junub. Lalu Abu Hurairah pergi mandi tanpa pamit kepada Baginda. Setelah balik, Nabi SAW bertanya, mengapa tadi dia pergi. Abu Hurairah berkata, “Aku junub, dan aku tidak suka duduk bersama Anda (Rasulullah) sedangkan aku dalam keadaan tidak suci.” Kemudian Nabi SAW bersabda,

“Subhanallah! Sesungguhnya muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari 279)

Rasulullah merasa heran dengan Abu Hurairah yang mengira dirinya najis hanya karena sedang dalam keadaan junub. Maka, Nabi shalallahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang Muslim itu tidaklah najis, meskipun ia dalam kondisi junub. Sehingga, tidak perlu minder apabila ingin bertemu sesama Muslim. Sedangkan untuk kondisi kedua, yakni takjub terhadap sebuah peristiwa, landasannya adalah:

Dari Muhammad bin Jahsy ra, “Suatu ketika, Rasulullah melihat ke arah langit, kemudian beliau bersabda,

“Subhanallah, betapa berat ancaman yang diturunkan ….”

Lanjutan hadis terkait dengan peristiwa ini, Rasulullah merasa kaget terhadap ancaman yang diturunkan oleh Allah kepada orang-orang yang malas membayar hutang. Dalil tentang kondisi ketiga mengani pendapat pertama adalah ayat 116 dari surat Al-Baqarah yang memiliki arti:

“Mereka (orang-orang Nasrani) berkata, ‘Allah mempunyai anak’, Maha Suci Dia (dari tuduhan itu).”

Demikian dasar pendapat dari kalangan yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat kita mengenai masalah kapan waktu mengucapkan “Subhanallah“.

Masih membahas pendapat versi pertama, menurut mereka, ucapan “Masya Allah” yang benar adalah ketika melihat sesuatu yang indah (kebalikan dari kebiasaan masyarakat yang sudah disebutkan). Landasan mereka adalah:

Allah berfirman di surat al-Kahfi,

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasyaa Allaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al-Kahfi: 39)

• Pendapat Kedua:

Dalam pandangan pendapat yang kedua, pengucapan Subhanallah/Masya Allah lebih dirinci.

“Subhanallah” boleh diucapkan ketika kita melihat sesuatu hal yang menakjubkan atau indah, dengan catatan, itu murni atas kekuasaan Allah Ta’ala tanpa ada campur tangan manusia.

Seperti contoh, suatu ketika kita melihat alam yang begitu indah, orang yang cantik dan tampan, sebuah mukzizat, karomah atau bisa juga diucapkan ketika melihat peristiwa gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Pemahaman ini didasari oleh ayat pertama dari surat Al-Isra’ dan beberapa ayat lainnya di dalam Alquran.

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam ayat tersebut (dan beberapa ayat lainnya), Allah memuji diri-Nya sendiri dengan kalimat tasbih ketika menunjukkan ke-Maha Kuasa-annya yang bisa memperjalankan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam semalam. Padahal, apabila perjalanan antara dua masjid mulia tadi ditempuh dengan perjalanan biasa, bisa menghabiskan waktu sebulan lebih perjalanan.

Sedangkan, “Masya Allah” diucapkan ketika melihat sesuatu kejadian yang indah maupun menakjubkan, sedangkan ada peranan manusia dalam kejadian tersebut.

Misalnya, ketika melihat bangunan yang indah dan megah, memasuki kebun yang cantik, teknologi yang canggih atau prestasi yang membanggakan, fisik yang kuat dan sebagainya.

Allah berfirman di surat al-Kahfi,

“Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Maasyaa Allaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al-Kahfi: 39)

Dalil di surat al-Kahfi tersebut dipahami dengan penjelasan yang sudah disebutkan di atas. Dalam ayat di atas, objek dari ucapan “Masya Allah” adalah kebun. Sedangkan, dalam adanya sebuah kebun itu tadi, selain tanaman-tanaman di dalamnya tumbuh atas izin Allah, juga ada usaha dari si pemilik kebun dengan menanamnya, menyirami, memupuki dan seterusnya.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Doa Kunci Agar Diijabah Allah
[/su_box]

Dengan demikian, mulai saat ini mari perbaiki ucapan Subhanallah dan Masya Allah agar tidak keliru ketika melihat dan mendengar hal baik dan buruk. Justru, jadikan dua kalimat thoyyibah ini sebagai dzikir sehari-hari di waktu lapang maupun sempit.

Wallahu a’lam.