Seruni.id – Dunia perfilman sedang dibuat heboh akhir-akhir ini, dengan hadirnya kabar bahwa salah satu novel terlaris karya Pidi Baiq yang berjudul “Dilan 1990” kembali menuju layar lebar. Sosok Dilan dalam film tersebut dianggap romantis, tak heran jika banyak para remaja yang terkena demam Dilan.
Tak hanya dikenal dengan keromantisannya, dalam novel tersebut ia digambarkan sebagai sosok remaja SMA dengan kepribadian yang unik, ia pun tergabung dalam sebuah geng motor di Bandung yang tentunya tidak terhindar dari konflik dan perkelahian.
Inilah fenomena remaja saat ini yang sudah semakin bebas, dan jauh dari nilai-nilai agama, hal ini menjadi kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Industri hiburan di bidang perfilman memiliki peranan yang sangat nyata dalam memelihara arus budaya yang saat ini menggerusi pola pergaulan para remaja.
Budaya permisif yang sekuler telah dicekokkan ke dalam benak anak-anak muda Indonesia. Bukankah anak muda merupakan aset terbesar masa depan bangsa? Mungkinkah hal ini akan dibiarkan begitu saja? Adakah hasrat kapitalis di sana?
Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan. Mengapa demikan? Remaja yang seharusnya menjadi penerus masa depan bangsa yang diharapkan mampu untuk bangkit dan memiliki pemikiran revolusioner, namun disisi lain malah menjadi remaja yang lebay dan alay.
Lebih baik kita merenungkan kembali dan membuka sejarah Islam, seperti kondisi remaja dalam kepemimpinan Islam. Ia adalah Muhammad Al Fatih, sosok pemuda yang telah menjadi pemimpin di usianya yang masih sangat muda.
Dilan dan Muhammad Al Fatih adalah dua pemuda yang sama-sama memiliki mimpi, namun berbeda dalam hal visi dan misi. Dilan menghabiskan masa mudanya dalam dunia yang seolah tak berhenti. Dan Al Fatih menghabiskan masa mudanya untuk menyongsong janji kemenangan Islam yang diisyaratkan oleh Rasulullah Al Amin. Sangat bertolak belakang sekali, bukan?
Jika Dilan berhasil membuat para remaja zaman now terhanyut dengan diksi romantis yang ditawarkan. Al Fatih adalah sosok pemuda Islam yang berhasil membobol benteng Konstantinopel benteng termegah pada saat usianya menginjak 21 tahun. Semata-mata hanya karena ingin mewujudkan bisyarah Rasulullah Muhammad SAW. Namun, masih adakalh di zaman sekarang pemudia sesusia itu memiliki pikiran dan mimpi besar untuk bangsa dan agamanya?
Pada saat Al Fatih menjadi nahkoda kepemimpinan, kaum Muslimin berhasil mengusai benteng terkuat pada jamannya. Semestinya remaja saat ini dibekali dengan pendidikan agama, karena remaja berpotensi sebagai aset masa depan bangsa yang dapat dioptimalkan sehingga mampu melahirkan pemuda-pemuda berkualitas seperti Muhammad Al Fatih.
Namun, sayangnya banyak sekali remaja saat ini yang kurang peka dan tidak menyadari bahwa merekalah pemegang astafet kepemimpinan di masa depan. Peran kita sangat penting untuk membangun remaja agar tidak terhanyut dalam propaganda kapitalis dan terjebak dalam budaya yang tidak mendidik.
Baca Juga: Panji Aziz, Anak Bangsa Yang Masuk 60 Pemimpin Muda Terbaik Dunia
Masyarakat harus ikut andil dalam membangun masa depan bangsa dengan cara mengeluarkan sikap kritisnya terhadap serangan budaya dan kepentingan kapitalis yang meracuni anak muda melalui industri perfilman. Kita memang tidak bisa menjadi Sultan seperti Al Fatih, tetapi kita bisa menjadikannya sebagai suri tauladan karena Al Fatih tidak akan menang tanpa umat atau pengikutnya. Tentu saja saat ini kita lebih membutuhkan para pemuda berkapasitas setara dengan Muhammad Al Fatih bahkan lebih lagi untuk dapat melakukan perubahan yang nyata dan membangun peradaban yang mulia.