Seruni.id – Dalam dunia politik, terdapat istilah-istilah yang mungkin sudah sering kita dengar. Salah satu yang sangat familiar di telinga kita adalah kata ‘oposisi’. Oposisi sendiri berkaitan erat dengan partai politik. Menjelang pemilihan umum seperti pemilihan Presiden, selalu ada partai politik yang menyatakan diri sebagai partai oposisi. Apa sebenarnya oposisi itu?
Apa itu Oposisi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oposisi diartikan dalam dua bidang yang berbeda. Pada dunia politik sendiri, oposisi dimaknai sebagai ‘partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.’ Sementara, dalam bidang linguistik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘pertentangan antara dua unsur bahsa untuk memperlihatkan perbedaan arti.’
Dari kedua arti kata oposisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata oposisi dalam pemaknaan linguistik nampaknya kurang akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia lebih sering mengaitkan oposisi dengan dunia politik. Bahkan, orang-orang masih sering mendefinisikan kata oposisi sebagai sesuatu yan berlawanan.
Macam-macam Oposisi
Kehadiran partai yang menjadi oposisi dalam pemerintahan merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi negara dengan sistem pemerintahan demokratis. Sesuai dengan quotes ‘Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutly’ dari Lord Acton, sebuah pemerintahan yang absolut diyakini akan melahirkan keburukan yang absolut pula.
Oleh sebab itu, pemerintah membutuhkan kelompok oposisi untuk menjaga agar pemerintahannya tidak absolut dan tetap berimbang. Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di dunia, oposisi akhirnya muncul dalam beberapa bentuk konseptual. Saat ini, setidaknya ada empat konsep oposisi yang pernah berkembang di berbagai dunia:
- Oposisi Seremonial
Oposisi ini dimaknai sebagai sesuatu yang bersikap upacara atau seremoni. Tetapi apabila kita maknai lebih jauh, seremoni dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat resmi dan formal. Berdasarkan definisi tersebut, oposisi seremonial dapat diartikan sebagai konsep ‘oposisi tipu-tipu’ atau oposisi yang dibentuk hanya untuk formalitas saja.
- Oposisi Destruktuf Oportunis
Oposisi destruktif oportunis adalah konsep oposisi yang selalu berusaha untuk merusak citra pemerintahan melalui cara apapun. Segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan selalu dikritik dan dicari kesalahannya, bahkan ketika kebijakan tersebut sesungguhnya baik untuk rakyat.
Kelemahan-kelemahan pemerintah yang disorot dalam konsep oposisi destruktif-oportunis ini diharapkan dapat merusak kewibawaan penguasa sehingga golongan oposisi dapat melakukan kudeta secara mudah. Tujuan dari golongan oposisi destruktif oportunis ini adalah untuk menjatuhkan penguasa secepat mungkin sehingga mereka dapat mengambil alih pemerintah.
- Oposisi Fundamental Ideologis
Oposisi ini tidak jauh berbeda dengan oposisi destruktuf oportunis. Kedua konsep ini sama-sama menginginkan kejatuhan penguasa agar dapat digantikan oleh penguasa yang lain. Satu hal yang membuat kedua konsep ini berbeda adalah adanya unsur ideologi yang dibawa dalam oposisi fundamental ideologis.
Konsep oposisi fundamental ideologis merupakan konsep oposisi yang tidak sekedar menginginkan adanya penggantian penguasa, namun sampai ke tataran ideologis. Mereka menganggap jika dasar negara yang dianut selama ini tidak tepat, sehingga ingin mengganti dengan dasar negara yang mereka anggap lebih baik. Kaum oposisi fundamental ideologis ini tergerak menjadi oposisi karena dorongan faham. Entah itu bersandar pada religi, sosialisme, komunisme, nasionalisme, pluralisme dan lain lain.
- Oposisi Konstruktif Demokratis
Oposisi yang satu ini dapat disebut sebagai konsep yang paling baik jika dibandingkan dengan ketiga konsep sebelumnya. Konsep oposisi konstruktif demokratis ini terbentuk sebagai bentuk perjuangan golongan oposisi untuk kepentingan masyarakat umum.
Jika tiga konsep oposisi sebelumnya justru berpotensi mengacaukan tatanan yang ada karena hanya akan menggantikan otoritarian lama dengan otoritarian yang baru, maka oposisi konstruktif demokratis berfungsi untuk menciptakan keseimbangan yang sesungguhnya.
Konsep oposisi konstruktif demokratis akan melakukan kritik kepada pemerintah jika kebijakan pemerintah dinilai merupakan rakyat. Kelompok oposisi ini juga tetap mampu melihat sisi positif yang telah dicapai oleh pemerintah sehingga rakyat dapat menilai pemerintahan secara seimbang.
Kelompok oposisi konstruktif demokratif tidak pernah berniat untuk menggulingkan kekuasaan yang ada untuk digantikan dengan kekuasaan tertentu. Kelompok oposisi ini hanya akan bertindak ekstrem jika tingkah pemerintahan yang berkuasa sudah keterlaluan dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat tidak dapat dicegah lagi.
Peran-peran Oposisi
Dalam negara demokrasi, oposisi diharapkan dapat melaksanakan kontrol kritis terhadap kekuasaan eksekutif atau pemerintah. Yang dimaksud dengan kontrol keritis yaitu, mengawasi dengan kritis jalannya pemerintahan. Bisa dengan cara aktif memberikan kritik dan masukan terhadap pelaksanaan peraturan.
Kontrol di sini bukan berarti ‘menyetir’ pemerintahan, melainkan memastikan kekuasaan tetap berjalan pada rel yang benar serta mencegah pemerintah terseret pada kecenderungan alamiah untuk memperluas kekuasaannya dan menyelewengkan penggunaan kekuasaan.
Hadirnya oposisi di dalam sistem demokrasi sebenarnya adalah upaya untuk mewujudkan demokrasi sepenuhnya yang salah satunya bisa ditandai oleh hubungan antara konsesnus (persetujuan bersama) dan disensus (ketidasepakatan), check and balances serta harmoni dan disharmoni. Tanpa hal-hal tersebut, kekuasaan bisa menjadi totaliter dan absolut.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Syarat Mengamalkan Politik Islam
[/su_box]
Lantas, bagaimana jika pemerintahan yang berkuasa sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar? Apakah oposisi tidak memiliki tugas lagi? Nah, justru di sinilah peran oposisi diperlukan untuk menggarisbawahi sambil sama-sama membangun kesadaran serta aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik-praktik yang sudah bekerja dengan baik.