Jenar Javaid Salgy, siswa kelas 4 SD Kalipancur 01, siang itu tampak bersama beberapa temannya tengah berkeliling di sekolah mereka yang terdapat di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Berseragam putih dari atas ke bawah, murid-murid itu berbekal senter serta alat pencatat. Tidak hanya di lingkungan sekolah, mereka ternyata juga berkunjung ke beberapa rumah di sekitar sekolah mereka. Beberapa rumah mereka datangi, dengan sedikit malu-malu, mereka berikan salam serta warga juga menyambut dengan ramah.
“Permisi, mau PJR!”, seru Jenar serta kawan-kawannya. Apa yang dilakukan anak-anak itu? Mereka ternyata melaksanakan Pemantaun Jentik Rutin (PJR). Dengan sigap mereka mengecek beberapa tempat penampungan air di rumah itu, dari mulai bak mandi, ember, dispenser, pot dan vas bunga, tempat minum unggas, dan beberapa tempat lain yang berpotensi mempunyai genangan air. Mengapa? Karena beberapa tempat itu adalah tempat yang berpotensi untukmenjadi sarang berkembangnya jentik nyamuk. Seperti diketahui, Aedes Aegypti yaitu penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Tingkat peristiwa DBD di Kota Semarang cukup menjadi perhatian, bahkan juga pernah menjadi yang paling tinggi di Jawa Tengah pada tahun 2010 dengan 5. 556 kasus serta 47 korban meninggal. Hal semacam ini tentu menjadi pukulan untuk Ibukota Provinsi Jawa Tengah itu. Beragam usaha sudah dilakukan pemerintah setempat, di antaranya dengan mengeluarkan Perda No. 5 Tahun 2010 mengenai Pengendalian DBD. Walau demikian, jumlah kasus DBD di Kota Semarang di beberapa tahun selanjutnya cukup fluktuatif serta dinamis. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Dr. Widoyono, usaha pemerintah saja tidak cukup dalam hal ini.
“Bila tak segera dihindari, kami cemas akan menambah jumlah warga yang terkena demam berdarah. Semua level masyarakat harus aktif ikut serta dalam menghambat DBD dengan merawat lingkungannya,” tutur Widoyono.
Kota Semarang serta tentu beberapa daerah lain yang mempunyai permasalahan sama pasti butuh waspada pada DBD. Terutama, Indonesia adalah negara tropis yang rawan pada penyakit ini. Butuh di ketahui kalau menurut riset Health Climate Vulnerability Assessment yang dilakukan oleh Climate Change Center ITB yang bekerjasama dengan Program Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) dari Mercy Corps Indonesia, penyakit DBD ini ternyata juga dipengaruhi oleh fenomena perubahan iklim.
Iklim yang menghangat ternyata menyebabkan siklus perkawinan serta perkembangan nyamuk dari telur menjadi larva ke nyamuk dewasa jadi lebih singkat, sehingga jumlah populasi juga lebih cepat berkembang. Udara panas serta lembab sangatlah cocok untuk nyamuk demam berdarah. Dulu, nyamuk-nyamuk ini seringkali muncul di musim pancaroba, pada musim hujan serta kemarau. Saat ini udara panas serta lembab dapat berlangsung sepanjang tahun sehingga virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes aegypti itu bisa menyerang kapan saja.
Dinas Kesehatan Kota Semarang pasti sadar benar mengenai ancaman yang mereka hadapi. Salah satu usaha yang mereka lakukan yaitu bekerjasama dengan Mercy Corps Indonesia sejak 2013 hingga pertengahan 2016 untuk membekali para dokter kecil di sekolah dasar supaya dapat aktif ikut serta mencegah DBD. Faktanya, 29% pasien DBD di Kota Semarang merupakan anak-anak umur 5-9 tahun. Dengan pemahaman mengenai ancaman nyamuk Aedes aegypti serta penyakit DBD, para dokter kecil di beberapa sekolah percontohan Kota Semarang saat ini tidak hanya bertugas merawat temannya yang sakit di Unit Kesehatan Siswa (UKS), namun mereka diberi peran untuk berkontribusi lebih memelihara lingkungannya. Seperti yang dilakukan oleh Jenar Javaid Salgy serta beberapa temannya.
“Saya cita-citanya ingin jadi dokter nanti. Sekarang saya senang menjadi anggota dokter kecil dapat turut memberantas nyamuk serta mengingatkan warga yang bak mandinya ada jentik nyamuk agar dibersihkan, supaya lingkungan sehat. ” ucap Jenar, sang dokter kecil.
Sumber: Mercy Corps