Hijrah  

10 Tahun Menjadi Atheis, Profesor Matematika Ini Akhirnya Memeluk Islam

10 Tahun Menjadi Atheis, Profesor Matematika Ini Akhirnya Memeluk Islam
quora.com

Seruni.id – Perjalanan hidup seseorang memang tidak ada yang bisa memprediksi, bagaimana dia saat ini, tak menjamin akan sama di masa mendatang. Begitupun mengenai pilihan hidupnya dalam hal memutuskan untuk memilih keyakinan. Seperti halnya Dr. Jeffrey Lang, seorang Profesor Matematika yang sejak kecil telah memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi sampai akhirnya ia memutuskan untuk memeluk Islam.

10 Tahun Menjadi Atheis, Profesor Matematika Ini Akhirnya Memeluk Islam
islampos,com

Kisah Sebelum Jeffrey Memeluk Islam

Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. Kala itu Jeffrey mempertanyakan keberadaan surga kepada ayahnya.

“Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey.

Suatu ketika ia dan sang ayah berjalan bersama anjing peliharaan mereka. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang akan menjadi professor matematika, sebuah wilayah dimana ta ada tempat selain logika. Saat menjadi siswa tingkat akhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, ia memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberdaan Tuhan.

Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtua, bahkan rekan sekelasnya pun tak juga bisa memuaskan tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usianya yang masih 18 tahun.

Pada usia 18 tahun itulah, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi atheis, pilihannya itu berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3 hingga akhirnya ia memeluk Islam. Beberapa saat sebelum memutuskan menjadi atheis, Jeffrey mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan lengkapnya yang dilansir dari republika:

“Kami berada di dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apapun di dinding ruangan yang berwarna putih keabu-abuan itu. Satu-satunya ‘hiasan’ yang ada hanya karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.

Kami lantas membentuk deretan. Saya berada di deretan ketiga. Semuanya pria, tak ada seorang pun wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela. Terasa sangat asing. Saya tak mengenal seorang pun di sana. Mungkin, saya berada di negera lain. Kami menunduk serentak, wajah kami dihdapakan ke lantai.

Semuanya terasa tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatakan. Kami serentak kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di didi kiri saya, di tengah kamu, di bawah jendela. Dia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.”

10 Tahun Menjadi Atheis

Selama 10 tahun ia menjadi seorang atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang serupa. Bagaimanapun, ia tak merasa terganggu dengan mimpi tersebut, yang terus menerus datang dalam tidurnya. Bahkan, ia mengaku sangat merasa nyaman saat terbangun, sebuah perasaan nyaman yang aneh.

Jeffrey tak mengerti apa yang terjadi, tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak ingin ambil pusing meski mimpi itu datang terus dan berulang.

Sepuluh tahun kemudian, ketika pertama kali member mata kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu dengan murid yang beragama Islam. Pertemuan itu membawanya menjalanin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan sebagai topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.

Meskipun tak ada niat di hatinya untuk mengenal Islam lebih dalam. Namun, ia akhirnya mulai membuka Alquran tersebut dan mencoba mmebacanya. Saat itu kepalanya penuh dengan berbagai prasangka.

“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.

Kemudian Jeffrey mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang cukup menarik.

“Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendbat, mengkritik, membuat (Anda) mali, dan menantang. Sejak awal, ia (Alquran) menorehkan garing perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”

“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey.

Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.

“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.

Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan.

“Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”

Akhirnya Memeluk Islam

Awal 1980-an tak banyak Muslim di kampusnya, tanpa sengaja ia mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja, yang ternyata tempat tersebut digunakan oleh sejumlah mahasiswa Muslim untuk melakukan shalat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat tersebut.

Beberapa saat setelah mengunjungi tempat itu, Jeffrey mendapati dirinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Selepasnya, waktu shalat dzuhur pun tiba, ia diundang untuk berpartisipasi. Berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan.

Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah. Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.

“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”

“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”

Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.

Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.

Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.

Baca Juga: Seminggu Berturut-turut Dengarkan Al Quran, Pria Ini Memeluk Islam

Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah.

“Ayah, mengapa kita shalat?”

“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”

“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”