Seruni.id – Murabahah adalah kegiatan jual beli, di mana penjual memberitahukan harga barang pada si pembeli, dan ia mengambil untung dari penjualan barang tersebut. Jual beli ini dipraktekkan pada beberapa bank syariah atau BPR saat ini. Namun, sebenarnya bagaimana murabahah yang sesuai syariat Islam? Dan seperti apa murabahah yang mengandung riba?
Begini gambarannya:
Ruslan menjual mobil pada Ahmad. Dan ia memberitahukan harga belinya pada Ahmad yakni 100 juta. Karena jasa Ruslan untuk membeli terlebih dahulu dan berani memberikan pada Ahmad secara cicilan, maka ia menjual mobil tersebut sebesar 120 juta. Artinya, Ruslan mendapat untung sebesar 20 juta, dan Ahmad mengetahui hal ini.
Ada istilah lain yang mirip murabahah. Kalau contoh di atas ditarik keuntungan. Maka ada jual beli yang sudah dikabarkan harga pembelian pada si pembeli sama dengan murabahah, tapi si penjual tidak mengambil untung, harga pembelian sama dengan harga penjualan. Ini dikenal dengan jual beli tawliyah.
Baca Juga: 5 Contoh Riba dalam Kehidupan Sehari-hari
Ada juga bentuk yang justru si penjual rugi. Ia memberitahukan harga sebenarnya pada si pembeli, tapi ia menetapkan harga lebih rendah, karena mungkin barangnya sudah lama. Jual beli kedua ini dikenal dengan jual beli wadhi’ah atau mukhasaroh. Jadi ada tiga jual beli yang sifatnya amanah:
- Murabahah (kenal untung),
- Tawliyah (kenal imbas), dan
- Wadhi’ah (kenal rugi).
Nanti akan kita bahas di lain kesempatan. Sekarang fokus terlebih dulu pada Murabahah, ya. Adapun mengenai hukum jual beli murabahah, asalnya dibolehkan. Dalil akan hal ini mendasar pada firman Allah Ta’ala yang menjelaskan halalnya jual beli. Allah Ta’ala berfirman:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli,” (QS. Al Baqarah: 275).
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridho di antara kamu,” (QS. An Nisa’: 29).
Murabahah termasuk jual beli saling ridho di antara penjual dan pembeli, sehingga termasuk jual beli yang diperbolehkan. Begitupun secara logika, jual beli ini sangat dibutuhkan dan sudah tersebar luas. Di antara kita pasti ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas untuk dibeli, dan mana yang tidak.
Baca Juga: Jangan Abaikan Haramnya Riba!
Sehingga perlu informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-beluk barang di pasar. Sebagai balas budi, maka si pembeli memberikan balas jasa pada si penjual yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan. Sehingga jual beli murabahah dengan logika sederhana ini diperbolehkan.
Gambaran yang Kedua:
Ilustrasi jual beli ini hampir mirip dengan jual beli murabahah atau ia termasuk dalam jual beli murabahah. Jual beli ini dikenal dengan jual beli al aamir bisy syiro’. Ulama Syafi’iyah menjelaskan jual beli ini, “Si A melihat ada suatu barang yang membuat ia tertarik. Lalu ia berkata pada si B, “Tolong belikan barang ini dan engkau boleh mengambil untung dariku jika aku membelinya.” Kemudian si A membeli barang tersebut dari si B. Maka jual beli dengan bentuk seperti ini boleh dengan keuntungan sesuai yang diinginkan”.
Namun, catatan yang perlu diperhatikan adalah jual beli al aamir bisy syiro’ tidaklah bersifat mengikat, ya. Jika si A memutuskan ingin membeli dari si B, maka terjadilah jual beli. Tapi jika si A tidak mau setelah menimbang-nimbang, atau melihat kualitas barang yang dibeli oleh si B tidak sesuai keinginan, maka ia boleh membatalkannya.
Sekarang buka mata kita untuk melihat seperti apa realita Murabahah yang terjadi di sekitar?
Kenyataannya yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai dengan murabahah yang dijelaskan dalam fikih Islam. Praktek murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat yang mengatasnamakan syari’ah, jauh dari yang semestinya.
Lihat contoh yang dijelaskan oleh para ulama di atas, seperti dalam contoh terakhir, si B benar-benar telah memiliki barang yang ingin dijual pada si A. Namun, realita yang terjadi di bank tidaklah demikian. Begini gambaran murabahah yang dipraktekkan pihak bank:
Pertama
Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank, “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 100 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, “Kami jual mobil tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 120 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 100 juta kepada pemohon dan berkata, “Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Kenyataan yang terjadi ini bukanlah murabahah. Karena realitanya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si pemohon sebesar 100 juta untuk membeli mobil di dealer. Kemudian si pemohon mencicil hingga terbayar 120 juta.
Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli, maka mobil tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli ini, si penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna, sebelum dijual pada pihak lain. Berikut hadis-nya:
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan,” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525).
Ibnu ‘Umar berkata,
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali,” (HR. Muslim no. 1527).
Maka, mobil tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang belum ia miliki, atau belum diserah terimakan secara sempurna. Dan kenyataannya tujuan bank adalah meminjamkan uang 100 juta dan dikembalikan 120 juta. Kenyataan ini adalah riba, karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.”
Kedua
Serupa dengan ilustrasi pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari Anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Gambaran ini pun sama, bank juga menjual barang yang belum diserah terima ‘kan secara sempurna. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
Ketiga
Seorang pemohon datang ke bank dan menyatakan bahwa dia membutuhkan sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang, selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Baca Juga: Allah dan Rasulnya Menyatakan Perang dengan Dua Dosa Ini
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual, kecuali setelah dipindahkan dan pembeli menerima barang tersebut. Maka rincian hukum transaksi ini adalah sebagai berikut:
- Jika akadnya bersifat mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram hukumnya, karena termasuk menjual sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki.
- Jika akadnya tidak bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual pun pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli semacam ini dibolehkan, karena barang sudah berpindah dari penjual pertama kepada pihak bank.
Namun, sayangnya gambaran yang terakhir tidak bisa dijumpai pada bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk yang mengikat (tidak bisa dibatalkan).
Semoga menjawab kegelisahan. Wallahu a’lam.